“Rumaketing Paseduluran” atau eratnya sebuah persaudaraan merupakan idaman normative masyarakat. Tatanan kehidupan bermasyarakat, berkelompok biasanya mempunyai ukuran ideal yaitu persaudaraan yang erat, kebersamaan, kompak dan seabrek istilah. Singkat kata, dalam berbagai kelompok yang mengatasnamakan kelompok kanan maupun kiri masih mempunyai capaian ideal itu. Bahkan sekelompok orang yang lain daripada yang lain atau dianggap asing oleh kelompok lain sering malah lebih erat persaudaraanya dibandingkan dengan kelompok yang tampak tenang dan nyaman. Mereka lebih merasa bagian dari kelompok itu, jadi apabila dari salah satu anggota yang sakit tentu akan dirasakan oleh yang lainnya.
Pagi tadi, saat saya “nyangkruk” di kantin Mako 1 Polresta Kediri, saya sangat tertarik dengan cerita dari salah seorang Bapak polisi. Beliau menceritakan ketika sedang bertugas di Negeri Khemer Merah Kamboja sebagai pasukan perdamaian PBB tahun 1993. Pasukan perdamaian dari Indonesia itu bertugas selama satu tahun. Dalam satu tim itu, mereka saling membantu dan melindungi satu sama lain, karena di Kamboja saat itu sedang dalam kondisi perang.
Selama satu tahun itu pula, rasa perkawanan, persahabatan dan persaudaraan terpupuk. Suka dan duka mereka lalui bersama demi mengemban tugas kemanusiaan dari Perserikatan Bangsa – Bangsa. Pengalaman hidup bersama di bawah tekanan perang dan di antara bayang – bayang kematian, membawa rasa persaudaraan yang mendalam sampai kini. Padahal sejak dalam satu tim sampai sekarang, secara kepangkatan dan jabatan jelas berbeda. Apalagi sekarang, bahkan dalam satu tim itu sekarang ada yang menjadi seorang jenderal.
Cerita Bapak polisi itu mengingatkanku ketika masih aktif menjadi Pramuka semasa SMP dulu. Saya juga mempunyai tim yang kami namai Kreatifitas Bocah – bocah Aliran Ling lung (KEBAL). Kelompok itu berangkat dari perkemahan lomba tingkat III sampai IV. Kami tergabung dalam satu regu. Proses pembelajaran dan penempaan yang berat dan panjang, mengantar kami ke sebuah perasaan mendalam seperti saudara sendiri. Dan itu kami rasakan sampai sekarang, meskipun kami terpisah jauh tetapi komunikasi dan rasa persaudaraan kami masih tetap.
Cerita singkat di atas, lantas mengingatkanku pada petuah orang tua dulu. “RUmaketing Paseduluran” itu penting. Dengan menjalin persaudaraan dan silaturahmi dengan siapa saja, tentu hidup ini tidak akan sendiri. Hidup akan menjadi lebih semarak dan bergairah diantara saudara – saudara sejati walaupun banyak kepentingan yang menguasai nafsu manusia. Tambah kawan berarti tambah saudara, tambah saudara berarti menambah rizqi dan memparpanjang umur. Kenapa demikian?? Kiranya kita perlu merenungkannya karena setiap manusia pasti mempunyai maksud dalam memilih dan memilah kawan, saudara. Bukankah begitu??
Setiap Langkah, Nafas Berhembus, Mata Berkedip, Denyut Nadi Adalah Satu Kesatuan Kehidupan Yang Selalu Bermakna
Kamis, 29 Maret 2012
Jumat, 23 Maret 2012
Kelangan Rupiah, Oleh Berkah
Sebuah ungkapan sederhana yang lama tidak saya dengar dan mungkin banyak orang merasakan seperti saya, atau bahkan belum mendengar sama sekali. Satu kalimat sederhana, singkat dan mudah diingat tapi kalau mau memaknai tentu akan menjadi panjang uraiannya. Kalimat berbahasa Jawa tersebut apabila berbahasa Indonesia kurang lebih menjadi “Kehilangan Rupiah, mendapat Barokah” yang arti sederhana kira – kira biarlah kehilangan uang (rupiah) tetapi barokah dari Tuhan yang kita terima.
Sore kemarin, ketika saya “marung” di sebuah warung kopi, ada beberapa orang asyik mengobrol seputar jual beli tanah dan rumah. Tanpa sengaja saya memperhatikan dan mengikuti cerita – cerita mereka, sapa tahu ada yang menarik dan memberikan informasi berharga. Sambil menikmati kopi bubuk hitam ditambah suasana sejuk udara diwarung kopi itu, saya mencoba menyimak cerita itu. Nampaknya yang ngobrol itu semua unsure lengkap, ada penjual, pembeli dan “Mac Leren” alias makelar-nya. Mereka membicarakan mulai persoalan lokasi, luas, kepemilihan, dokumen, situasi sekitar lokasi dan hal – hal yang terkait dengan rumah dan tanah lainnya.
Obrolan itu tidak begitu lama, saya nggak tahu apakah mereka ngobrol di warung itu sudah lama? Tetapi sepengetahuan saya mereka belum lama ngobrol, melihat salah seorang dari mereka harus menuangkan kopinya di cawan karena panas. Entah tiba – tiba, orang yang berbaju hitam itu berkata “ Ga opo – opo, kelangan rupiah oleh berkah. Saya akan membeli rumah dan tanah itu dengan tempo pelunasan 2 (dua) bulan”. Mendengar dari pembicaraan itu, orang yang berbaju hitam tersebut adalah pembelinya. Menyimah perkataan pembeli itu, saya spontan teringat dengan ungkapan sederhana yang sudah lama sekali tidak mendengarnya, “kelangan rupiah, oleh berkah”.
Dari cerita singkat di atas, kita mungkin sudah dapat mereka salah satu makna dari kalimat “kelangan rupiah, oleh berkah”. Si pembeli akan mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli rumah dan tanah, tetapi barokah berupa rumah yang dapat dijadikan tempat berteduh, berlindung, tempat tinggal dia bersama keluarganya akan didapatkannya. Berkah itulah yang tentunya selalu diharapkan oleh semua manusia. Pengharapan berkah Tuhan Yang Maha Pemurah-lah yang membuat manusia bersemangat untuk berjuang melakukan apa saja demi keluarga, masyarakat dan bangsanya (kalau ingat… hehe tetapi minimal bagai diri dan keluarga).
Saya percaya bahwa arti kalimat itu tidak hanya itu saja, tetapi masih ribuan makna yang sesuai dengan interpretasi atau sudut pandang pribadi orang masing – masing. Sah – sah saja mengartikan kalimat sederhana itu dengan sudut pandang sempit maupun komplek. “Kelangan rupiah, oleh berkah” hanyalah sebuah ungkapan, tetapi ribuan makna dapat kita dapat dari situ. Semoga saja tidak hanya terbatas pada kata – kata dan ribuan makna tetapi lebih kepada aktualisasi dalam kehidupan. Bukankah begitu…??
Sore kemarin, ketika saya “marung” di sebuah warung kopi, ada beberapa orang asyik mengobrol seputar jual beli tanah dan rumah. Tanpa sengaja saya memperhatikan dan mengikuti cerita – cerita mereka, sapa tahu ada yang menarik dan memberikan informasi berharga. Sambil menikmati kopi bubuk hitam ditambah suasana sejuk udara diwarung kopi itu, saya mencoba menyimak cerita itu. Nampaknya yang ngobrol itu semua unsure lengkap, ada penjual, pembeli dan “Mac Leren” alias makelar-nya. Mereka membicarakan mulai persoalan lokasi, luas, kepemilihan, dokumen, situasi sekitar lokasi dan hal – hal yang terkait dengan rumah dan tanah lainnya.
Obrolan itu tidak begitu lama, saya nggak tahu apakah mereka ngobrol di warung itu sudah lama? Tetapi sepengetahuan saya mereka belum lama ngobrol, melihat salah seorang dari mereka harus menuangkan kopinya di cawan karena panas. Entah tiba – tiba, orang yang berbaju hitam itu berkata “ Ga opo – opo, kelangan rupiah oleh berkah. Saya akan membeli rumah dan tanah itu dengan tempo pelunasan 2 (dua) bulan”. Mendengar dari pembicaraan itu, orang yang berbaju hitam tersebut adalah pembelinya. Menyimah perkataan pembeli itu, saya spontan teringat dengan ungkapan sederhana yang sudah lama sekali tidak mendengarnya, “kelangan rupiah, oleh berkah”.
Dari cerita singkat di atas, kita mungkin sudah dapat mereka salah satu makna dari kalimat “kelangan rupiah, oleh berkah”. Si pembeli akan mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli rumah dan tanah, tetapi barokah berupa rumah yang dapat dijadikan tempat berteduh, berlindung, tempat tinggal dia bersama keluarganya akan didapatkannya. Berkah itulah yang tentunya selalu diharapkan oleh semua manusia. Pengharapan berkah Tuhan Yang Maha Pemurah-lah yang membuat manusia bersemangat untuk berjuang melakukan apa saja demi keluarga, masyarakat dan bangsanya (kalau ingat… hehe tetapi minimal bagai diri dan keluarga).
Saya percaya bahwa arti kalimat itu tidak hanya itu saja, tetapi masih ribuan makna yang sesuai dengan interpretasi atau sudut pandang pribadi orang masing – masing. Sah – sah saja mengartikan kalimat sederhana itu dengan sudut pandang sempit maupun komplek. “Kelangan rupiah, oleh berkah” hanyalah sebuah ungkapan, tetapi ribuan makna dapat kita dapat dari situ. Semoga saja tidak hanya terbatas pada kata – kata dan ribuan makna tetapi lebih kepada aktualisasi dalam kehidupan. Bukankah begitu…??
Rabu, 14 Maret 2012
Dawet Jabung
“Ehmmm sueegerrr….” Spontan ucapan ringan itu meluncur dari mulut ini sebagai pertanda kelegaan yang tiada tara. Batas antara dahaga dan segarnya kerongkongan sehingga sering melupakan anugerah Tuhan. Ya… ucapan spontan meluncur begitu saja setelah menikmati semangkok “dawet jabung” yang terkenal itu. Air santan bermaniskan “legen” dan sedikit “cendol” telah melepaskan rasa dahaga, seakan mengalir perlahan pada keringnya kerongkongan. Rasa segar dan manis itu membuat syaraf – syaraf dan urat – urat di sekujur tubuh menjadi dingin serta rasa pegal menjadi hilang seketika. Sesondok demi sesendok saya nikmati perlahan, sayang kalau kenikmatan ini terlewat begitu saja. Apalagi si penjualnya yang cantik menambah suasana menjadi lebih Oke. Semilir angin hamparan sawah membangkitkan semangat yang luar biasa pada jiwa ini.
Dawet jabung merupakan dawet yang berasal dari salah satu desa di kabupaten Ponorogo, tepatnya desa Jabung, desa yang terletak di antara pondok besar di Jawa Timur yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor dan Pondok Pesantren Walisongo Ngabar. Namun demikian di daerah Ponorogo dan sekitarnya banyak kita jumpai penjual dawet jabung. Kalau anda sedang berada atau melewati kota Ponorogo, sangatlah mudah untuk mencari letak penjual dawet jabung itu.
Dawet merupakan minuman tradisional yang sangat sederhana sekali cara pembuatannya. Satu mangkuk dawet hanya terdiri air yang bersantan, legen (nira) kelapa dan cendol, terkadang masih ditambahi dengan “gempol”. Gempol terbuat dari tepung beras yang dibentuk bulat yang dicampurkan dengan dawet. Peralatan yang digunakan penjual dawet juga sangat sederhana dan tradisional sekali, air bersantan dan juruh legen di tamping dalam kwali, “irus” atau candingnya berupa batok kelapa dengan bamboo yang biasanya di beri aksesoris siluet wayang dari kayu. Pokoknya semua serba sederhana dan tradisional banget, tapi rasanya jauh lebih mengesankan dari penyajiannya.. (tak seindah warnanya…).
Dalam penyajian dawet, oleh penjual kepada pembeli, ada cara tersendiri dan banyak menjadi bahan ketawa bagi yang pertama kali membeli dawet jabung. Biasanya penjual akan menyajikan dawetnya di sebuah mangkuk yang diletakkan di cawan. Naah.. biasanya pembeli yang belum pernah membeli dawet jabung akan memungut cawan yang di atasnya ada mangkuk dawetnya, padahal lazimnya di Ponorogo dan sekitarnya pembeli cukup mengambil mangkuknya saja tanpa dengan cawannya. Para pembeli pemula sering terjadi tarik menarik cawan dengan penjual dawet. Lho kenapa kok seperti itu? Pertanyaan itu sering ditanyakan banyak orang. Menurut cerita – cerita di masyarakat umum bahwa cawan itu mempunyai arti sendiri bagi penjual dan pembeli dawet.
Terlepas dari arti cawan itu, kiranya lebih bijak dan mengesankan apabila saudara pembaca mencicipi dan merasakan sendiri kenikmatan minum dawet jabung Ponorogo. Memang banyak dawet yang menjadi khas dari beberapa daerah, tetapi kiranya “dawet jabung” yang berasal dari ponorogo mempunyai cita rasa tersendiri dan patut untuk menjadikan tenggorokan ini segar kembali. Selamat menikmati….
Dawet jabung merupakan dawet yang berasal dari salah satu desa di kabupaten Ponorogo, tepatnya desa Jabung, desa yang terletak di antara pondok besar di Jawa Timur yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor dan Pondok Pesantren Walisongo Ngabar. Namun demikian di daerah Ponorogo dan sekitarnya banyak kita jumpai penjual dawet jabung. Kalau anda sedang berada atau melewati kota Ponorogo, sangatlah mudah untuk mencari letak penjual dawet jabung itu.
Dawet merupakan minuman tradisional yang sangat sederhana sekali cara pembuatannya. Satu mangkuk dawet hanya terdiri air yang bersantan, legen (nira) kelapa dan cendol, terkadang masih ditambahi dengan “gempol”. Gempol terbuat dari tepung beras yang dibentuk bulat yang dicampurkan dengan dawet. Peralatan yang digunakan penjual dawet juga sangat sederhana dan tradisional sekali, air bersantan dan juruh legen di tamping dalam kwali, “irus” atau candingnya berupa batok kelapa dengan bamboo yang biasanya di beri aksesoris siluet wayang dari kayu. Pokoknya semua serba sederhana dan tradisional banget, tapi rasanya jauh lebih mengesankan dari penyajiannya.. (tak seindah warnanya…).
Dalam penyajian dawet, oleh penjual kepada pembeli, ada cara tersendiri dan banyak menjadi bahan ketawa bagi yang pertama kali membeli dawet jabung. Biasanya penjual akan menyajikan dawetnya di sebuah mangkuk yang diletakkan di cawan. Naah.. biasanya pembeli yang belum pernah membeli dawet jabung akan memungut cawan yang di atasnya ada mangkuk dawetnya, padahal lazimnya di Ponorogo dan sekitarnya pembeli cukup mengambil mangkuknya saja tanpa dengan cawannya. Para pembeli pemula sering terjadi tarik menarik cawan dengan penjual dawet. Lho kenapa kok seperti itu? Pertanyaan itu sering ditanyakan banyak orang. Menurut cerita – cerita di masyarakat umum bahwa cawan itu mempunyai arti sendiri bagi penjual dan pembeli dawet.
Terlepas dari arti cawan itu, kiranya lebih bijak dan mengesankan apabila saudara pembaca mencicipi dan merasakan sendiri kenikmatan minum dawet jabung Ponorogo. Memang banyak dawet yang menjadi khas dari beberapa daerah, tetapi kiranya “dawet jabung” yang berasal dari ponorogo mempunyai cita rasa tersendiri dan patut untuk menjadikan tenggorokan ini segar kembali. Selamat menikmati….
Selasa, 13 Maret 2012
RENOVER
Nama yang menggunakan bahasa asing ini
mungkin juga asing bagi masyarakat karena istilah itu kurang popular dan tidak
familiar di telinga kita. Maklumlah kata itu memang bukan asli bahasa melayu.
Sebelum saya menulis cas cis cus tentang apa itu renover, ada baiknya pembaca
membuka situs RENOVER. Nah… setelah membuka situs tersebut dan
membacanya, saya yakin pembaca sudah mempunyai gambaran tentang “renover”
secara garis besar dan kegiatan – kegiatannya. Renover berasal dari kata
renovasi yang artinya memperbaiki dan renover adalah orang – orang atau sesuatu
yang melakukan perbaikan. Pada kata “Renover” seperti dalam situs di atas
adalah suatu yayasan yang beranggota para simpatisan terhadap kondisi social, ekonomi
dan lingkungan dimana kegiatan utamanya meliputi 5 (lima) focus Bedah Rumah Miskin
(BERM), Santunan Fakir Miskin Yatim Piatu (SAFAMIYA), Penghijauan Lahan Kritis
(PELK), Ternak Keluarga Miskin (TEKEM) dan Bedah Sekolah Terpencil (BEST).
Lima focus kegiatan itu
yang menjadi agenda utama atau kegiatan utama yang dilakukan. Kebetulan dalam
yayasan itu, saya sebagai sekretaris meskipun (saya akui) kurang begitu aktif
karena jarak antara tempat tinggal saya dengan lokasi (sementara) kegiatan sangat
jauh. Meskipun demikian kami, diantara pengurus Yayasan, tidak putus komunikasi
dan terus melakukan koordinasi, konsultasi dan musyawarah. Selain itu, kawan –
kawan dan saudara – saudara sukarelawan yang sedia setiap saat tanpa mengenal
pamrih selalu siap sedia di lokasi terutama saudara saya, Mas Dwi.Parjoko.
Beliau adalah seorang guru sekolah dasar di desa yang terkenal dengan desa
idiot di kabupaten Ponorogo, sekaligus sebagai pendiri dan motivator di
lapangan. Dalam kesempatan ini saya pribadi menyatakan sangat salut dan mengapresiasi
semua yang sudah dilakukan oleh Dwi Paarjoko dan kawan – kawan.
Bukti nyata!!! Tidak banyak bicara!!! Itu
mungkin yang dapat dikatakan atas ide sederhana yang pelaksanaannya pun juga
santai namun pasti tepat sasaran. Dengan menggandeng tokoh masyarakat setempat
kegiatan demi kegiatan sudah berjalan dengan lancer. Kegiatan renover ini juga
menggugah dan memberi semangat baru kepada masyarakat untuk bangkit menuju
sesuatu yang lebih berkualitas baik pendidikan, ekonomi juga sosialnya.
Sementara ini focus kegiatan dilaksanakan masih di desa Sidoarjo kecamatan
Jambon kabupaten Ponorogo yang sebagian besar masyarakatnya berada di bawah
garis kemiskinan. Selain itu desa tersebut warganya banyak yang mengalami
gangguan fungsi otak, idiot.
Melihat kondisi memprihatinkan itu melecut
kami untuk segera mewujudkan angan – angan atau gagasan yang sudah lama kami
bicarakan. Kami harus segera mengadakan tindakan walaupun sedikit dan kecil!!
Harus melakukan sesuatu kepada mereka yang membutuhkan motivasi, dukungan
moril. Saya sering kali mendengar dalam suatu diskusi kecil di kampus – kampus
mengenai situasi dan kondisi desa idiot yang tahun lalu santer diberitakan oleh
media masa. Gubernur Jawa Timur Pak Dhe Karwo bahkan Menteri Sosial pun harus
meninjau langsung desa itu. Kawan – kawan mahasiswa dan dosen – dosen begitu
semangat membicarakan persoalan dari desa idiot Sidoarjo, kabupaten Ponorogo.
Mereka kebanyakan menggunakan informasi – informasi dari media baik cetak
maupun elektronik. Selain itu juga informasi sepenggal dari orang cerita yang
tidak jelas dari mana asal informasi itu. Namun demikian semangat berdiskusinya
luar biasa. Saya hanya terdiam mendengar diskusi seru nan hangat itu.
Dalam pemikiran saya mestinya cukuplah membahas
suatu persoalan itu simple dan solutif, tidak bertele – tele dan cenderung
menyalahkan pihak sana
pihak sini. Bukan berarti saya tidak menghargai diskusi mereka tetapi apalah
artinya diskusi yang bertele – tele kalau tidak ada implementasinya, tidak ada
action yang kongkret. Hasil diskusi yang teoritis hanya menghasilkan sebuah
umpatan, kritikan mungkin juga fitnah (karena nggak jelas sumber informasinya)
dan juga kata – kata yang manis untuk diucapkan. Hanya indah di warung kopi
atau tempat diskusi itu, setelah itu yaah..Cuma pembicaraan saja. BASI….
Kembali ke uraian pokok, renover ini
hanyalah wadah untuk menyalurkan rasa empati, simpati bagi saudara – saudara
yang menginginkan suatu perubahan dalam masyarakat. Saudara – saudara yang
ingin berbagi dalam segala hal yang mereka miliki. Ada saudara yang memberikan sumbangan
pemikiran, dana, material, support dan sebagainya. Itu semua sudah merupakan
bentuk kepedulian dan partisipasi terhadap saudara – saudara kita yang masih
membutuhkan perhatian khusus dalam beberapa hal kehidupan. Saya teringat dengan
pidato Presiden Soekarno “Sumbangkan segalamu kepada Ibu pertiwi… kalian
mempunyai bunga cempaka berikanlah bunga cempaka kepada Ibu Pertiwi, kalian
mempunyai bunga mawar berikan bunga mawar itu kepada Ibu pertiwi. Sumbangkan….
Sumbangkan… segalamu kepada Ibu Pertiwi.. “
Bulan Juni 2011 merupakan permulaan dalam
melakukan kegiatan Renover ini. Sebagai kegiatan awal adalah bedah rumah dimana
sampai saat ini sudah melakukan bedah rumah sebanyak 13 unit rumah. Masing –
masing rumah mendapat bantuan sebesar Rp. 2.500.000,00 berupa material dan
sebagai tenaga kerja adalah masyarakat sekitar (partisipasi masyarakat). Selain
itu juga, Yayasan Renover sudah melaksanakan kegiatan penyaluran hewan korban,
zakat fitrah dan mal, infaq, shodaqah. Untuk kegiatan Penanganan lahan kritis
juga sudah terlaksana dengan menanam pohon sengon laut di lahan – lahan kosong
dan ada juga yang bersifat kemitraan antara pihak yayasan dengan masyarakat.
Kegiatan Ternak untuk Keluarga Miskin baru saja dimulai awal tahun 2012 kemarin
dan akan mengembangkannya lebih banyak lagi.
Dapat kunjungi GROUP RENOVER
Senin, 12 Maret 2012
Barokah Lintas Alam
Siang itu, ketika saya duduk di bangku
ruang tunggu terminal bis Mojokerto, tak terasa terbayang jelas kejadian 11
(sebelas) tahun lalu. Di terminal itu, kami berlima (Sri Hantarko, Gatot
Sulaeman, Apri Fahrudi, Dwi Parjoko, David dan saya) berjalan tertatih – tatih
menahan rasa capek, ngilu karena baru saja mengikuti lomba lintas alam di
daerah Pohjejer (Mojokerto) sejauh 40 kilometer. Yaa.. Lomba Lintas Alam yang
diadakan oleh Mahisapala Universitas WR Supratman Surabaya yang seingatku
dilaksanakan tahun 1991-an. Waktu itu kami mewakili Palang Merah Remaja (PMR)
Wira Ganesha SMA Negeri 1 Ponorogo, dan saya waktu itu masih duduk di kelas 1.
Berangkat dengan dana pas – pasan, kami
mengikuti lomba tanpa berkurang semangat sedikit pun. Hanya berbekal tekat dan
nekat (bonek… haha) kami tetap menjadi peserta lomba lintas alam. Kami
sebelumnya sama sekali tidak mengenal sedikitpun wilayah Mojokerto, apalagi
Pohjejer yang menjadi tempat lomba. Jiwa muda dan semangat (mungkin) luar biasa
saja yang membawa kami ke daerah itu. POHJEJER. Satu kecamatan di wilayah
kabupaten Mojokerto yang kelak (sekitar tahun 2007 – 2010) menjadi daerah yang
selalu saya kunjungi dan lewati, bahkan saya pernah mendampingi Gabungan
Himpunan Petani Pemakai Air (GHIPPA) yang mencakup wilayah Pohjejer selama
hamper 2 (dua) tahun.
Route dan medan yang lumayan berat kami
susuri, jalan berbelok, naik – turun bukit, menyusuri sungai yang berbatu kami
terjang, sehingga jarak tempuh sepanjang 40 kilometer itu dapat kami selesaikan
dalam waktu 5,5 jam. Waktu tempuh kami untuk menyelesaikan route lomba tergolong
cepat karena rata – rata dalam 1 (satu) jam kami menempuh kurang lebih 8
(delapan) kilometer.
Ada cerita nekat, tapi konyol dan lucu
setelah acara itu. Kira – kira pukul 14.00 acara sudah selesai dan kami akan
pulang ke Ponorogo karena besok pagi sudah masuk sekolah, Apri yang berperan
sebagai bendahara kami mengatakan bahwa dana sisa yang kami punya tinggal
sedikit, dan dia mengusulkan lebih baik jalan kaki menuju terminal bis
Mojokerto. Karena dana mepet kami setuju saja, tetapi kami tidak tahu berapa
jarak dari Pohjejer ke terminal bis. Meskipun capek dan kaki sudah kesemutan,
kami dengan tertaih tetap jalan kaki. Kami adalah manusia yang mempunyai tenaga
terbatas. Setelah berjalan kira – kira 3 (tiga) kilometer, kami semua menyerah
dan akhirnya naik angkot sampai terminal Mojokerto. Kami terperanjat ketika Pak
Sopir angkot itu mengatakan bahwa jarak Pohjejer – terminal bis adalah 25
kilometer. Spontan kami tertawa dan menyalahkan Apri yang punya ide… haha
Setelah sampai di terminal kami langsung
melaksanakan sholat ashar. Sewaktu melaksanakan sholat itulah kami benar –
benar merasakan kesemutan, pegal – pegal yang luar biasa pada bagian kaki kami
sehingga dalam gerakan sholat kami merasakan sakit. Ehmmmm… capeknya bukan
main. Seharian kami belum makan nasi, hanya terisi ketela pohon (manihot
utilisima) yang sempat kami makan sewaktu dalam perjalanan lomba. Apri yang
selalu mengecek kondisi keuangan memberitahukan bahwa kami bisa makan tetapi
yang harganya murah, seperti nasi bungkus. Kami melihat satu persatu menu yang
tertera di masing – masing stand warung dalam terminal, dan akhirnya kami
menemukan warung yang menjual NASI PECEL. Wooow tanpa pikir panjang kami
langsung masuk warung itu dan memesannya. Kami semua beranggapan bahwa nasi
pecel tentu harganya murah seperti di Ponorogo.
Suatu kebetulan dan barokah dari Allah,
ketika kami memesan nasi pecel (berlauk kerupuk) tiba – tiba Ibuk penjual nasi
pecel dan anaknya terkejut dan memanggil salah satu teman kami. “Mas Koko….
Teka ndi Mas?”. Koko adalah nama panggilan Sri Hantarko, senior kami yang
mendampingi kami. Spontan saja suasana menjadi berubah. Ibu penjual nasi itu
langsung menambah telur dadar di piring kami satu – satu. Kami semua senang dan
bersyukur kepada Allah yang telah member kami rizqi yang tak kami duga sama
sekali. Sambil makan kami berbincang – bincang dengan Ibu penjual nasi dan
keluarga yang kebetulan berada di warung. Ibu itu ternyata tetangga Mas Koko di
Ponorogo. Ehmm berkali – kali kami mengucap syukur. Sampai akhirnya kami harus
berpamitan dan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibu dan
keluarganya. Ketika berpamitan, Ibu itu member kami minuman botol (aqua) dan
beberapa lembar uang (sangu). Kami merasa tidak enak, tetapi mau bagaimana lagi
mereka memaksa… (mungkin tahu kalau kami kaum musafir yang dhuafa’ kwkwkw).
Kebahagiaan dan kesenangan kami semakin
bertambah, karena kenikmatan tidur dari terminal Mojokerto sampai terminal
Ponorogo juga kami dapatkan. Kami tersadar setelah kondektur bis membangunkan
kami karena bis sudah standby di terminal selama 30 menit. Nikmat dan barokah
yang luar biasa….. kenangan yang tak kan kami lupakan. Saya menyadari, hanya kesabaran,
doa dan keikhlasan yang bisa membuat itu semua…. Alhamdulillah, dan tak terasa
orang yang saya tunggu sejak tadi sudah duduk di sampingku tidak tahu kapan dia
datang karena terlalu asyik dengan bayangan kenangan 11 (sebelas) tahun lalu…..
Selasa, 06 Maret 2012
Ngelmu Iku.....
Jarum jam sudah mendekati waktu tengah malam, mapir pukul 24.00 WIB. Suasana rumah sunyi senyap karena semua isi rumah sudah terlelap tidur sejak pukul 21.00 tadi. Hanya saya yang sampai larut malam, bahkan mau berganti hari, mata ini belum terpejam. Sesekali aku mendengar kokok ayam jantan, lolongan anjing dan suara binatang malam lainnya. Sebenarnya mata saya sudah lumayan lelah karena selama kurang lebih 2 jam membaca buku History of Java karangan Thomas Stamford Raffles. Beberapa hari ini saya mengulang membaca buku tebal itu. Lembar demi lembar saya membacanya secara pelan dan teliti, karena saya cukup tertarik sekali dengan isi buku yang garis besarnya menceritakan kondisi masyarakat Jawa pada masa lalu.
Setelah lelah membaca, saya mencoba merebahkan tubuh untuk istirahat. Tampaknya mata ini belum juga mau terpejam. Ingatan tentang berbagai peristiwa ataupun khayalan silih berganti seperti slide terpampang di depan mata secara silih berganti. Dalam slide sebelum tidur itu tiba – tiba saya seakan mendengar atau teringat dengan tembang “pocung” yang menekankan perlunya menuntut ilmu. Dengan seksama saya mengikuti dan mencoba mendalami slide petuah dalam bentuk tembang itu. Tembang yang terdiri dari 4 (empat) baris itu seakan menghipnotis untuk mengenang masa kecil ketika orang tua saya sering menembangkan tembang pocung itu.
Ngelmu iku, kelakone kanthi laku
Lekase lawan kas,
wekase kas nyantosani
Setya budya pangekesing dur angkara
Demikian tembang pocung yang tercatat dalam buku Wedhatama karya KGPAA Mangkunegara IV Raja Mangkunegaran. Karya yang sangat mendalam maknanya, tinggal bagaimana orang membaca, mendengar, menyimak, melihat, memahami, menganalisanya. Setiap pemahaman dan pemaknaan akan memberikan makna yang berlainan bahasa tetapi masih dalam pengertian yang sama apabila ditarik garis besarnya. Petuah yang singkat, padat dan mengesankan, apalagi dalam penyampaiannya disertai dengan menembangkan cengkok tembang pocung.
Tembang di atas apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut, “ Sebuah Ilmu itu dalam penempuhannya memerlukan pengorbanan, diawali dengan niat yang kuat dan dengan ilmu itu manusia mempunyai kemampuan untuk memahami budaya yang nantinya dapat berguna untuk mengikis atau menghilangkan keangkara murkaan”. Demikian terjemahan kasar dari tembang gubahan Sang Pujangga sekaligus Raja Mangkunegaran itu.
Tak terasa mulut ini menggumamkan tembang pocung itu meskipun dalam kondisi 40 watt, suatu kondisi antara sadar dan tidak. Dalam kondisi itu, saya mencoba jauh berlayar menuju pemaknaan kata demi kata, kalimat demi kalimat. Saya sangat sadar bahwa menempuh, mencari imu itu penuh dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Pengorbanan dan semangat itu nantinya akan membuahkan hasil yang mana manusia tidak akan bisa melampaui dari manfaat ilmu itu. Para pendiri Pondok Moderen Darussalam Gontor Ponorogo memberikan petuah bahwa dalam segala hal itu mengorbankan "BANDA, BAHU, PIKIR LEK PERLU SAK NYAWANE" (Harta, tenaga, pikiran dan kalau perlu sekalian dengan nyawanya). Demikian petuah hebat yang ditularkan kepada antri - santrinya juga kepada siapa saja. Sungguh berat pengorbanan dan penempuhan dalam mencari ilmu itu. Dengan diawali niat yang kuat, semangat yang menyala perjalanan mencari dan memahami ilmu itu akan berakhir dengan barokah.
Semakin tinggi ilmu yang dimiliki seseorng, seharusnya ya sarjanan sujananing budhi. Orang yang terpelihar karena ilmunya, bukan malah dengan ilmunya seseorang justru akan membuat kerugian bahkan kehancuran diri dan masyarakat. Kesetiaan terhadap budaya (semua sisi - sisi kehidupan) akan semakin kuat sehingga ilmu itu akan membuat orang berfikir lebih rasional dan dapat meminimalisir kejiwaannya (setya budya pengekesing dur angkara). Ilmu tidak bisa dicuri dan ilmu tidak akan lari.....
Pengembaraan saya sebelum tidur ternyata berakhir dengan tertutupnya mata dan masuk ke alam tidur....
Selamat mencari ilmu sampai kapanpun.....
Setelah lelah membaca, saya mencoba merebahkan tubuh untuk istirahat. Tampaknya mata ini belum juga mau terpejam. Ingatan tentang berbagai peristiwa ataupun khayalan silih berganti seperti slide terpampang di depan mata secara silih berganti. Dalam slide sebelum tidur itu tiba – tiba saya seakan mendengar atau teringat dengan tembang “pocung” yang menekankan perlunya menuntut ilmu. Dengan seksama saya mengikuti dan mencoba mendalami slide petuah dalam bentuk tembang itu. Tembang yang terdiri dari 4 (empat) baris itu seakan menghipnotis untuk mengenang masa kecil ketika orang tua saya sering menembangkan tembang pocung itu.
Ngelmu iku, kelakone kanthi laku
Lekase lawan kas,
wekase kas nyantosani
Setya budya pangekesing dur angkara
Demikian tembang pocung yang tercatat dalam buku Wedhatama karya KGPAA Mangkunegara IV Raja Mangkunegaran. Karya yang sangat mendalam maknanya, tinggal bagaimana orang membaca, mendengar, menyimak, melihat, memahami, menganalisanya. Setiap pemahaman dan pemaknaan akan memberikan makna yang berlainan bahasa tetapi masih dalam pengertian yang sama apabila ditarik garis besarnya. Petuah yang singkat, padat dan mengesankan, apalagi dalam penyampaiannya disertai dengan menembangkan cengkok tembang pocung.
Tembang di atas apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut, “ Sebuah Ilmu itu dalam penempuhannya memerlukan pengorbanan, diawali dengan niat yang kuat dan dengan ilmu itu manusia mempunyai kemampuan untuk memahami budaya yang nantinya dapat berguna untuk mengikis atau menghilangkan keangkara murkaan”. Demikian terjemahan kasar dari tembang gubahan Sang Pujangga sekaligus Raja Mangkunegaran itu.
Tak terasa mulut ini menggumamkan tembang pocung itu meskipun dalam kondisi 40 watt, suatu kondisi antara sadar dan tidak. Dalam kondisi itu, saya mencoba jauh berlayar menuju pemaknaan kata demi kata, kalimat demi kalimat. Saya sangat sadar bahwa menempuh, mencari imu itu penuh dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Pengorbanan dan semangat itu nantinya akan membuahkan hasil yang mana manusia tidak akan bisa melampaui dari manfaat ilmu itu. Para pendiri Pondok Moderen Darussalam Gontor Ponorogo memberikan petuah bahwa dalam segala hal itu mengorbankan "BANDA, BAHU, PIKIR LEK PERLU SAK NYAWANE" (Harta, tenaga, pikiran dan kalau perlu sekalian dengan nyawanya). Demikian petuah hebat yang ditularkan kepada antri - santrinya juga kepada siapa saja. Sungguh berat pengorbanan dan penempuhan dalam mencari ilmu itu. Dengan diawali niat yang kuat, semangat yang menyala perjalanan mencari dan memahami ilmu itu akan berakhir dengan barokah.
Semakin tinggi ilmu yang dimiliki seseorng, seharusnya ya sarjanan sujananing budhi. Orang yang terpelihar karena ilmunya, bukan malah dengan ilmunya seseorang justru akan membuat kerugian bahkan kehancuran diri dan masyarakat. Kesetiaan terhadap budaya (semua sisi - sisi kehidupan) akan semakin kuat sehingga ilmu itu akan membuat orang berfikir lebih rasional dan dapat meminimalisir kejiwaannya (setya budya pengekesing dur angkara). Ilmu tidak bisa dicuri dan ilmu tidak akan lari.....
Pengembaraan saya sebelum tidur ternyata berakhir dengan tertutupnya mata dan masuk ke alam tidur....
Selamat mencari ilmu sampai kapanpun.....
Sabtu, 03 Maret 2012
Integrasi Kelembagaan Petani
Seperti kita ketahui bersama, begitu
banyak kelembagaan yang berkaitan dengan petani. Kita mengenal Kelompok Tani
(poktan), Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA), Asosiasi Petani Tebu Rakyat
(APTR), Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), Asosiasi Petani Hortikultura,
Koperasi Unit Desa (KUD) dan masih banyak lagi kelembagaan petani yang berada
di masyarakat. Masing – masing kelembagaan petani itu setiap desa di seluruh
pelosok tanah air dapat dipastikan ada. Padahal petani dalam suatu desa tetap
sementara kelembagaan petani begitu banyak, sehingga seorang petani kemungkinan
juga menjadi beberapa lembaga. Misalnya, Pak A adalah anggota kelompok tani,
selain itu juga menjadi anggota KTNA, P3A, APTR dan APTI (asosiasi petani
tembakau Indonesia). Nah, demikian kondisi yang masyarakat petani kita dan
biasanya kelembagaan – kelembagaan itu sering dijadikan kendaraan politik oknum
tertentu.
Dalam
rangka Ketahanan Pangan Nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani
perlu dilakukan pengembangan dan pembinaan
pemberdayaan kelembagaan petani agar dapat meningkatkan kemandirian,
produktivitas usahatani, produksi pertanian, dan kesejahteraan masyarakat
secara dinamis; yang diwujudkan melalui pengelolaan air irigasi dan lahan, yang
berkelanjutan. Kelembagaan petani ini diharapkan berkembang menjadi kelembagaan
petani yang mandiri dengan multi-fungsi sehingga mampu mendinamisasi ekonomi
pedesaan, meningkatkan kesempatan berusaha, kesempatan kerja di pedesaan, meningkatkan
nilai tambah, serta kesejahteraan masyarakat pedesaan.
Pemerintah
dalam kerangka reformasi pengelolaan sumberdaya lahan dan air secara terpadu,
telah mengeluarkan berbagai perangkat hukum seperti: Undang-Undang Nomor 7
tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 ditindak lanjuti dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi dan Undang-Undang
Nomor 32 ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dengan pemerintahan
daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, dan Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Dalam
kerangka pengelolaan sumberdaya lahan dan air irigasi secara terpadu ini
pemerintah juga telah membentuk Unit Kerja Eselon I Direktoral Jenderal
Pengeloaan Lahan dan Air di Departemen Pertanian yang menangani pengelolaan
sumber daya lahan dan air irigasi secara terintegrasi, guna keberlanjutan
pembangunan pertanian dan pedesaan.
Ketersediaan
sumber daya air dan sumber daya lahan semakin terbatas sedangkan permintaan
semakin meningkat, kondisi ini menyebabkan terjadinya berbagai konflik dalam
pemanfa’atan sumber daya lahan dan air masa depan. Pengendalian konflik ini
memerlukan peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan kelembagaanya, untuk
mampu mengendalikan konflik dan mengelola sumberdaya air berkelanjutan
berkeadilan.
Sehubungan
dengan hal tersebut di atas diperlukan dukungan sumber daya manusia berkualitas
melalui pemberdayaan petani dan kelembagaan petani. Pembinaan dan pengembangan kelembagaan petani
diarahkan pada penerapan keterpaduan sistem irigasi dan agribisnis, peningkatan
peran serta petani dan anggota masyarakat pedesaan lainnya, dengan menumbuh
kembangkan kerja sama antar petani dan pihak lainnya yang terkait untuk
mengembangkan pengelolaan sumberdaya lahan dan air melalui pemberdayaan petani
dan kelembagaannya. Selain itu pembinaan kelembagaan petani diharapkan dapat
membantu menggali potensi, mengatasi konflik pemanfa’atan sumber daya air,
memecahkan masalah usahatani anggotanya secara lebih efektif, dan memudahkan
dalam mengakses informasi, pasar, teknologi, permodalan dan sumber daya
lainnya.
Dalam rangka pembinaan dan pengembangan kelembagaan
petani tersebut telah diterbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 33/PRT/M/2007 tentang Pedoman Pemberdayaan
P3A/GP3A/IP3A dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 273/Kpts/OT.160/4/2007
tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani. Keberadaan kelembagaan
P3A/GP3A/IP3A dan Kelompoktani POKTAN/GAPOKTAN di lapangan cukup menyulitkan
dalam pembinaannya, karena pada dasarnya kedua lembaga tersebut mempunyai tugas
dan fungsi yang serupa dan bersifat multi fungsi. Karakteristik dari kedua
kelembagaan ini agak berbeda karena latar belakang dan filosofi awal dari
dibentuknya kelembagaan ini memang berbeda, namun dalam perkembangan
selanjutnya fungsinya menjadi serupa, disamping anggotanya umumnya sama.
Untuk itu diperlukan kebijakan pembinaan dan pengembangan
pemberdayaan kelembagaan petani pada lahan pertanian beririgasi guna
mensinergikan dan menyatukan berbagai kelembagaan petani tersebut. Kebijakan
ini perlu dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan bagi
petani, dan agar kelembagaan petani dapat berpartisipasi aktif dalam program
pembangunan pedesaan.
Guna mencapai sasaran yang diinginkan tersebut maka untuk
tahap awal uji coba sinkronisasi berbagai kelembagaan petani terutama
Kelompok Tani dan Perkumpulan Petani Pemakai Air.
Pengembangan
dan Pembinaan pemberdayaan kelembagaan petani dimaksudkan sebagai upaya
peningkatan profesionalitas sumberdaya manusia pertanian, dengan tujuan untuk
mampu berpartisipasi aktif melaksanakan program pembangunan pertanian dan
pedesaan serta mengelola sumberdaya lahan, sumberdaya air dan layanan irigasi
yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan demikian akan dapat diwujudkan
pemantapan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah dan daya saing produk
pertanian serta meningkatkan kesejahteraan petani dengan tetap menjaga
kelestarian sumberdaya lahan dan air secara berkelanjutan.
Kelembagaan
petani berfungsi sebagai penyedia layanan berbagai kebutuhan petani dalam
mengembangkan system usahatani dan agribisinis secara dinamis dan layanan
pengelolaan sumber daya air, prasarana irigasi yang menjadi tanggung jawabnya. Kelembagaan
petani ini berorientasi ekonomi dan sosial untuk kemandirian melalui
pengembangan system usahatani dan agribisinis, serta secara bersama menjaga
kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Di Propinsi Jawa
Timur, uji coba penggabungan kelompok tani dan P3A dilaksanakan di desa Panduman
kecamatan Jelbuk kabupaten Jember. Penggabungan itu difasilitasi oleh Bappeda,
Dinas Pertanian, Dinas PU Pengairan dan Konsultan Water Resources and
Irrigation Sector Management Project (WISMP) sejak bulan Agustus 2009 lalu. Lembaga
baru yang dibentuk bernama Lembaga Ekonomi Pertanian Lahan Beririgasi (LEPLI). Selama
2,5 tahun berlangsung, masyarakat dapat merasakan efektifitas lembaga baru itu
dan dapat membuat semua lembaga petani menjadi satu atap atau satu pintu secara
terpadu. Evaluasi terhadap efektifitas lembaga dan dampaknya bagi petani sudah
dilaksanakan, tinggal menunggu hasil akhir dari Departemen Pertanian. Semoga kebijakan
yang menyangkut kelembagaan petani lebih tepat dan efisien guna meningkatkan
kesejahteraan petani dan ketahanan pangan nasional serta mengurangi atau
menghilangkan permainan – permainan politik (politisasi) yang mengatasnamakan
PETANI.
Langganan:
Postingan (Atom)