Kamis, 26 April 2012

Celoteh Si Pengamen Tentang Empat Penyakit


Ditengah rasa jenuh dan jengkel akibat macetnya kendaraan jalur Krian – Surabaya, saya merasa sedikit terhibur dengan adanya seorang pengamen yang lain daripada pengamen bis lainnya. Dari pakaiannya saja sudah tidak sama dengan lainnya, juga cara mengamennya. Pengamen itu menggunakan kostum layaknya seorang pandita dalam cerita ketoprak. Dengan memakai jubah warna hitam, pengamen itu melengkapi kostum dengan “kuluk” khas pandita, sabuk cinde keemasan dan tidak lupa terselip sebilah keris dipinggangnya. Berambut panjang putih agak kusam gimbal seperti anak “pank”.

Hiburan yang disajikan bukanlah lagu – lagu yang ujung – ujungnya kerap berbau sindiran dan kadang – kadang mendoakan jelek atau celaka kepada penumpang. Hiburannya adalah “ndalang” waktu “goro – goro”. Tampaknya para penumpang tertarik dengan aksi pengamen itu, selain kostumnya tak lazim juga action “ndalangnya” yang cukup menarik. Seperti kita ketahui, waktu goro – goro dalam cerita wayang diwarnai dengan hiburan, humor dan tak lupa terselip petuah – petuah. Tokoh Limbuk dan Cangik yang menjadi sentral ceritanya.

Ada pesan menarik dari celoteh Si Pengamen itu. Dengan gaya khas seorang dalang, dia mengatakan bahwa ada empat penyakit manusia yang tidak dapat disembuhkan oleh seorang dokter. Penyakit itu adalah KURAP, KUDIS, KUTIL, KUMAN. Penyakit yang dekat dengan penyakit kulit, hanya saja ke-empatnya bukanlah penyakit kulit biasa yang cukup dengan olesan “kalpanax” bisa hilang.


Minggu, 08 April 2012

Klakson Kesabaran


“thiin… thiiin… thiin…” bunyi klakson motor, mobil disertai deruman suara motor ketika lampu merah berganti ke hijau di sebuah traffic light. Suara klakson itu seakan motor atau mobil yang berada di belakang “nguyak – nguyak” motor / mobil didepannya. Padahal semua tahu kalau lampu hijau menyala berarti kendaraan boleh jalan untuk melanjutkan perjalanan.

Potret kecil yang sering kita jumpai itu, kiranya dapatlah menjadi suatu pertanda apabila “para pengguna jalan dalam kondisi tidak sabar alias “yak – yakan” atau “grusa – grusu”. Mungkin itu kesimpulan sepihak dari saya saja, tetapi itu bukan tanpa alasan. Kesabaran dan ketenangan berkendara merupakan salah satu factor untuk mengurangi resiko kecelakaan.

Indikasi pengendara saat lampu hijau baru menyala sudah me”nguyak-nguyak” pengendara didepannya dengan suara klakson, pertanda si pengendara sedang dikejar waktu. Entah apa yang mereka kejar… apa hokum “time is money” sedang mereka berlakukan sehingga kehilangan waktu satu hingga dua menit saja sudah tidak sabar.

Saya menyadari benar, banyak pengendara yang harus dikejar waktu karena mereka memanfaatkan waktu untuk mendapatkan sesuatu yang menjadi tujuannya. Misalnya, seorang sales sebuah produk yang memburu waktu untuk segera menuju dari satu took ke took lainnya sehingga mereka akan memacu kendaraanya dengan kecepatan tinggi. Nah apabila bertepatan lewat di traffic light dan lampu yang menyala merah, tidak jarang mereka menggerutu karena perjalanannya menjadi lebih lambat. Begitu lampu hijau menyala, tak heran apabila mereka ingin memacu kendaraannya secepat mungkin.


Rabu, 04 April 2012

Salah Ambil


Pagi – pagi sudah dibuat terpingkal – pingkal oleh cerita salah seorang kawan. Cerita yang menggelikan sekaligus memilukan. Pagi tadi ketika cangkruk ngopi bersama kawan – kawan karyawan salah satu lembaga keuangan milik PT. Astra group di warung sebelah timur kantornya, salah seorang diantara mereka menceritakan istrinya. Dia sendiri ketika mengawali cerita itu terlebih dulu ketawa terpingkal – pingkal sambil ngoceh..”kasihan…. kasihannn…”

Cerita itu terjadi kemarin malam dirumahnya. Waktu itu istrinya merasa dimatanya ada sesuatu yang mengganjal. “Ehmm mungkin mata ni kotor… aku bersihkan saja ama tetes mata” kata istrinya. Kemudian istrinya menuju meja rias, dimana biasa menyimpan tetes mata. Sambil menahan rasa kantuk, si istri mencari tetes mata di rak – rak kecil meja riasnya. “Naah.. ni dia” kata si istri lega sambil membuka tutup botol kecil itu dan langsung meneteskan ke matanya.

“Wuaduuuuh… peeriiih….” Jerit si istri sambil berlari menuju kamar mandi. Kawan saya yang sedang menonton televisi sontak terkejut dan lari mengikuti istrinya. Tampak si istri mencuci muka sambil menutup matanya. Mulutnya masih mengerang perih. Kawan saya langsung menanyakan kejadiannya kepada istrinya, terus membimbingnya ke bibir tempat tidurnya. Istrinya menjawab sambil menangis.


Selasa, 03 April 2012

Forum Seniman Reog Ponorogo (Respon gerakan independen seniman reog Ponorogo)


 
Jum’at pagi (30/03/2012), saya mendapat telepon dari seorang saudara seniman reog dari Jember tetapi asli Ponorogo. Meskipun dia bekerja dan bertempat tinggal jauh dari kota Reog tetapi eksistensinya di Ponorogo terkait “pereogan” tidak dapat diragukan lagi. Dia mengundang saya untuk menghadiri sarasehan kesenian reog yang dilaksanakan di desa Jabung, kecamatan Jetis, Ponorogo. Sarasehan itu akan mengundang seluruh grup reog yang ada di Ponorogo dan seluruh instansi yang terkait, seperti Pemda, DPRD Ponorogo, Dinas pariwisata dan olah raga serta yang lainnya. Kemungkinan juga akan hadir salah seorang anggota DPRD propinsi Jawa Timur komisi E yang membidangi kebudayaan.

Selain mengharap kehadiran saya, dia juga meminta sedikit masukan untuk acara tersebut. Sebelumnya dia menceritakan proses sampai dihelatnya sarasehan yang akan melibatkan ratusan seniman reog Ponorogo itu. Saya tahu dan paham tentang rencana acara sarasehan itu, karena jauh hari sebelum acara itu direncanakan Kawan saya itu sering berdiskusi dengan saya perihal keprihatinan dan kejengkelan seniman reog yang semakin terpinggirkan. Mungkin salah satu hasil sarasehan itu adalah usul atau konsep saya, yaitu tentang “pentas reog sepanjang tahun”.

Sebelumnya saya mohon maaf kepada seluruh seniman reog Ponorogo juga Kang Kawan saya, apabila saya tidak dapat hadir dalam sarasehan itu (01/04/2012) bersama mereka karena masih ada liputan di Kediri. Namun demikian beberapa konsep dan celoteh saya sejak tahun 1999 yang saya titipkan kepada kawan saya itu mungkin bisa mewakilinya. Sekali lagi mohon maaf.

Meskipun saya tidak hadir di Jabung, tetapi hati dan pikiran saya seperti berada di sana ketika kawan saya menceritakan via telepon dan SMS kondisi saat sarasehan. Mungkin perasaan seniman reog waktu sarasehan sama dengan perasaan saya sesame seniman reog. Rasa haru, puas atas beberapa hal yang mungkin tidak diperoleh selama ini. Apresiasi ketua DPRD Ponorogo dan beberapa anggotanya, salah seorang komisi E DPRD propinsi Jawa Timur, serta seluruh seniman reog membuat sarasehan itu semakin meriah dan berkesan.

Saya pribadi sangat appreciate dengan diadakanya sarasehan akbar itu, sehingga komunikasi, silaturahmi bahkan perbedaan pendapat yang sudah lama mereka (seniman) pendam mungkin bisa mencair hari itu. Memang dugaan awal saya dulu seperti itu, dan akhirnya terbukti. Sesepuh – sesepuh yang tidak aktif karena sesuatu hal, hadir dan antusias mengikuti acara itu. Hipotesa saya sejak awal adalah bahwa seniman reog ponorogo yang merasa terpinggirkan oleh Pemda Ponorogo itu menginginkan untuk diperhatikan baik kesenian reog maupun senimannya, juga Yayasan Reyog Ponorogo yang bertanggungjawab atas pembinaan dan perkembangan perlu ada perombakan.

Pada titik puncaknya, terbentuklah Forum Seniman Reog Ponorogo (FSRP). Forum yang mewadahi seluruh seniman reog dan menjadi forum komunikasi para seniman reog dalam melestarikan dan mengembangkan kesenian reog Ponorogo.

Saya menyambut gembira dan lega atas terbentuknya FSRP. Forum ini paling tidak menjadi tempat atau media komunikasi para seniman reog. FSRP juga menjadi balancing control bagi Yayasan Reyog Ponorogo yang selama ini “mandul”. Terkait Yayasan Reog ini masyarakat bahkan para seniman sendiri tidak tahu apa saja kegiatan yang dilaksanakan, target dan reportnya bagaimana, punya anggaran atau tidak dan sebagainya. Masyarakat hanya tahu kalau setiap bulan purnama ada pentas reog di alun – alun dan setiap tahun diselenggarakan Festival Reog Nasional.

Prediksi saya, dengan munculnya FSRP akan menambah dinamisnya seniman reog pada umumnya dan kesenian reog akan lebih berkembang, semarak serta penuh warna. Kreatifitas seniman reog di FSRP, yang mayoritas berada di luar birokrasi, akan selalu muncul meskipun sangat sederhana dan terkesan alamiah. Jauh dari polesan dari seniman yang berbasis sekolah tari. Suasana keakraban, persaudaraan akan terasa sekali diantara grup reog satu dengan lainnya.

Adanya FSRP ini, perlu adanya kewaspadaan seniman reog itu sendiri terhadap intervensi atau pendomplengan atau KLAIM dari partai politik. Meskipun Ketua DPRD sudah mengatakan bahwa kalau sudah berkumpul bersama antara seniman berarti kita sebagai seniman reog tanpa ada embel – embel partai. Namun demikian itu bukanlah suatu jaminan, karena masih di awal perjalanan FSRP. Kita berharap saja semoga para politisi tidak memanfaatkan FSRP dalam suasana politik praktis dan tetap menjaga independensi seniman reog.

Sementara hanya itu dulu celoteh saya terkait terbentuknya FSRP, semoga benar – benar dapat menjadi wadah para seniman yang bebas dari intervensi dan tekanan pihak manapun. Dan jangan sekali – sekali pihak – pihak yang ingin memanfaatkan para seniman demi kepentingan pribadi sesaat. Jangan lagi seniman tradisi dijadikan tumbal politik yang semakin tidak karuan arahnya. Tidak lupa saya sampaikan selamat kepada seniman reog Ponorogo…. MERDEKA

Senin, 02 April 2012

Diantara Himpitan, Ditolong Pun Gak Tahu



Catatan ini bukannya saya akan curhat atau menggumam seseorang yang menurut kenyataan merugikan saya secara financial, waktu, tenaga dan sebagainya. Namun lebih kepada pendekatan pemahaman kepada personal yang sedang dalam berbagai himpitan yang akhirnya dapat merugikan dirinya dan orang lain. Mohon maaf ya Pak, Bu kalau merasa saya gunjingkan di catatanku. Sejak awal saya sudah memaafkan dan tidak menuntut apa – apa dari keluarga Bapak.

Kejadian ini berawal dari kecelakaan akhir bulan Januari 2012 kemarin. Seperti catatan saya setelah kejadian itu (……), saya sudah memutuskan tidak akan menuntut atau meminta ganti rugi apapun kepada pihak yang menabrak. Meski secara financial saya dirugikan, karena harus mengembalikan motor mio keasalnya. Keputusan itu saya ambil setelah berkunjung ke rumah anak yang menabrakku dan saya bertemu orang tuanya. Saya melihat dan memahami kondisi ekonomi keluarga itu, sehingga sangat keberatan kalau saya harus meminta ganti rugi.

Seminggu setelah kejadian, ketiga belah pihak (penabrak dan dua korban tertabrak termasuk saya) mengadakan kesepakatan bersama, yang disaksikan oleh perangkat desa dari korban selain saya. Kesepakatn itu garis besarnya bahwa saya tidak menuntut ganti rugi sedikitpun dan pihak korban yang mengalami patah tulang kaki meminta sejumlah uang sebagai biaya pengobatan. Kami menyepakati itu semua, walaupun saya tahu pihak penabrak terlalu berat untuk memenuhi syarat dari korban.

Prediksi saya tepat, penabrak sungguh merasa berat untuk memenuhi syarat itu walaupun hanya Rp 1,5 juta. Mungkin ringan bagi orang berduit apalagi para koruptor Negara ini. Satu milyar saja enteng apalagi cuma Rp 1,5 juta, tentu itu seperti debu bagi mereka. Itulah himpitan ketiga yang membebani keluarga itu. Perlu diketahui, dalam kasus kecelakaan itu, keluarga penabrak sudah terbebani, pertama motor yang dipakai adalah motor pinjaman, kedua, si penabrak tidak mempunyi SIM dan tidak membawa STNK.

Dengan berusaha penuh tenaga, hutang sana sini akhirnya lunas juga beban harus bayar kepada korban patah tulang itu. Waktu yang diperlukan lima minggu. Sebenarnya sudah tidak sabar untuk cepat – cepat mengeluarkan motor saya yang masih dijadikan barang bukti di kepolisian. Pada minggu kedua sebelum penabrak melunasi kewajibannya, saya menemui perangkat desa korban, yang memediasi kami. Saya mengatakan bahwa surat kesepakatan itu bukanlah kwitansi tetapi hanya kesepakatan bersama. Kalau menunggu terlalu lama untuk ditandatangai oleh pihak korban selain saya tentu akan lama. Karena menurut perangkat desa itu, tidak akan ditandatangani surat kesepakatan itu sebelum penabrak memenuhi kewajibannya. Gila bener perangkat ini…….

Akhirnya saya menunggu waktu sampai penabrak melunasi kewajibannya, kira – kira sekitar satu bulan baru dapat memenuhi kewajibannya. Setelah itu kedua belah pihak, saya ajak ke Satlantas Polres untuk menyelesaikan permasalahan kecelakaaan itu, sebab kasus itu bisa diselesaikan apabila semua pihak yang terlibat secara bersama – sama menghadap ke unit kecelakaan satlantas polres.

Namun, ajakan saya yang pertama tidak dapat menghadirkan kedua belah pihak meskipun saya menunggu sampai sore sambil liputan berita criminal. Tiga hari berikutnya aku menghubungi lagi, dan untuk kedua kalinya mereka tidak hadir. Ajakan saya sebagai korban sampai tiga kali. Saking jengkelnya, saya temui keluarga penabrak di rumahnya untuk minta penjelasan kenapa sampai tiga kali mangkir dari ajakan saya.

Dari ceritanya, pihak penabrak mengatakan kesulitan menemui keluarga korban selain saya dan menyiapkan dana untuk menebus kendaraan yang disita polisi setelah kecelakaan termasuk motor saya. Masalah tersebut yang menjadi himpitan berikutnya. Begitu banyak himpitan yang mereka alami, sudang jatuh tertimpa tiang pula. Akhirnya saya berharap untuk hadir dan menghadirkan korban di Polres, sehingga masalahnya cepat selesai.

Hari perjanjian untuk bertemu di satlantas pun tiba, dan mereka (semua pihak) hadir, minus saya karena waktu itu saya masih di terminal sedang liputan dan saya sudah mengatakan kepada mereka untuk menunggu sekitar 10 menit. Tetapi pihak penabrak tidak sabar menunggu, mereka pun pulang. Meskipun demikian kasus kecelakaan yang sudah dua bulan berjalan akhirnya clear. Saya sudah dapat mengambil motor mio, dan pihak korban satunya tidak perlu dihadirkan. Hanya yang masih menjadi problem bagi penabrak, belum bisa mengambil motornya. Himpitan demi himpitan sehingga ada kesempatan untuk menolongnya pun harus berlalu begitu saja. Kasihan…. Karena ekonomi, pendidikan dan pengetahuan. Itulah realita masyarakat pedesaan di lereng gunung yang jauh dari ibukota.

Minggu, 01 April 2012

Jangan Sepelekan Hal Sepele

Saya masih teringat dengan jelas pesan Profesor Idha Hariyanto dan Profesor Soetriono terkait dengan menulis, dan kalimat itu sebagai salah satu sumber spirit saya untuk menuangkan ide dan isi otak saya dalam sebuah tulisan. “Jangan sepelekan hal yang kecil dan sepele. Sesuatu yang besar itu tidak jarang lahir dari hal yang kecil dan sepele” begitu pesan Prof. Idha saat menyampaikan mata kuliah Filsafat Ilmu di program studi Agribisnis Pascasarjana Universitas Jember tahun 2011 lalu. Demikian pula pesan Prof. Soetriono dalam mata kuliah yang sama mengatakan tuangkan ide dan gagasan kita melalui tulisan walaupun menurut orang lain sepele. Kedua pesan itu selalu saya ingat dan menjadi motivasi tersendiri dalam beberapa hal terutama sesuatu yang terkait dengan pengamatan, pendalaman, pemahaman hidup yang saya coba tuangkan dalam beberapa tulisan.

Kedua Guru Besar Universitas Jember tersebut menginspirasi saya untuk selalu mencatat, memperhatikan, mendalami dan mencoba menulis apa saja yang ada dipikiran. Beliau adalah ahli ekonomi pertanian yang berbeda generasi yang sangat konsisten dengan ilmu yang dipelajari. Ketekunannya mengamati tentang tebu dan daya saing hasil pertanian terutama kopi sudah mengantar beliau – beliau menjadi seorang professor dan menelurkan beberapa buku, yang mana tentu memberikan manfaat bagi pembaca dan orang lain.

Saya sering mendengar dari kawan – kawan mengkritik bahkan mencemooh sebuah tulisan baik itu artikel, cerpen, makalah, buku atau hanya sekedar celotehan, tetapi ironisnya saya belum pernah sekalipun tulisan yang mereka buat. Kawan – kawan saya tersebut bak seorang kritikus handal, menganalisa sebuah tulisan dari berbagai sudut dan teori yang diperolehnya yang ujung – ujungnya meremehkan tulisan demi tulisan. Mereka belum menyadari bahwa Si penulis telah berupaya untuk menuangkan segala uneg – uneg, gagasan, idenya dalam bentuk tulisan. Tulisan original si penulis dengan berbagai gaya tulis, kata yang dipakai kiranya patut kita apresiasi, kita hargai meskipun belum dapat memuaskan pembaca atau belum memenuhi kaidah sebuah tulisan.

Lebih bijak dan arif, apapun karya kreatif dalam bentuk apapun dari seseorang patut untuk mendapat penghargaan, bukan hanya bisa mengkritik, mencemooh, meremehkan tanpa menyadari dirinya sendiri tidak dapat berbuat seperti orang yang dikritiknya. Ehmmm ironis… anehnya itu banyak dan sering kita jumpai di sekitar kita bahkan orang – orang yang sering melakukan hal seperti itu adalah orang yang berpendidikan sarjana.

Hal sepele atau sering dianggap sepele di sekitar kita sangatlah banyak. Coba kita bersama instropeksi mulai dari diri pribadi yang tidak lepas sedetikpun berinteraksi dengan masing – masing bagian tubuh kita, setelah itu kita melihat interaksi dengan sesuatu di luar kita. Apakah hal yang menurut banyak orang itu juga sepele menurut kita atau sebaliknya? Kiranya itu tidak perlu kita pikirkan secara rumit dan detail, karena dalam hidup itu waktu terus mengalir, roda kehidupan terus berjalan. Suatu kesempatan, benda, waktu dan lainnya pada waktu tertentu akan menjadi sangat penting tetapi pada waktu yang lain bisa menjadi hal yang sangat remeh. Contoh mudah dan kita pasti mengalami adalah “kentut”. Kentut menjadi remeh ketika kita tidak sedang mengalami gangguan pencernaan atau lainnya, tetapi menjadi sangat penting apabila kita sedang masuk angin, habis operasi dan sebagainya. Bukankah begitu manusia, sering menganggap sesuatu remeh ketika tidak sedang memerlukannya.

Maka janganlah meremehkan sesuatu yang remeh sekalipun hal itu paling remeh menurut kita… seperti kentut tadi….
Terima kasih atas petuah - petuahnya Profesor…..