Catatan ini bukannya saya akan curhat
atau menggumam seseorang yang menurut kenyataan merugikan saya secara
financial, waktu, tenaga dan sebagainya. Namun lebih kepada pendekatan
pemahaman kepada personal yang sedang dalam berbagai himpitan yang akhirnya
dapat merugikan dirinya dan orang lain. Mohon maaf ya Pak, Bu kalau merasa saya
gunjingkan di catatanku. Sejak awal saya sudah memaafkan dan tidak menuntut apa
– apa dari keluarga Bapak.
Kejadian ini berawal dari kecelakaan
akhir bulan Januari 2012 kemarin. Seperti catatan saya setelah kejadian itu
(……), saya sudah memutuskan tidak akan menuntut atau meminta ganti rugi apapun
kepada pihak yang menabrak. Meski secara financial saya dirugikan, karena harus
mengembalikan motor mio keasalnya. Keputusan itu saya ambil setelah berkunjung
ke rumah anak yang menabrakku dan saya bertemu orang tuanya. Saya melihat dan
memahami kondisi ekonomi keluarga itu, sehingga sangat keberatan kalau saya
harus meminta ganti rugi.
Seminggu setelah kejadian, ketiga belah
pihak (penabrak dan dua korban tertabrak termasuk saya) mengadakan kesepakatan
bersama, yang disaksikan oleh perangkat desa dari korban selain saya.
Kesepakatn itu garis besarnya bahwa saya tidak menuntut ganti rugi sedikitpun
dan pihak korban yang mengalami patah tulang kaki meminta sejumlah uang sebagai
biaya pengobatan. Kami menyepakati itu semua, walaupun saya tahu pihak penabrak
terlalu berat untuk memenuhi syarat dari korban.
Prediksi saya tepat, penabrak sungguh
merasa berat untuk memenuhi syarat itu walaupun hanya Rp 1,5 juta. Mungkin
ringan bagi orang berduit apalagi para koruptor Negara ini. Satu milyar saja
enteng apalagi cuma Rp 1,5 juta, tentu itu seperti debu bagi mereka. Itulah
himpitan ketiga yang membebani keluarga itu. Perlu diketahui, dalam kasus
kecelakaan itu, keluarga penabrak sudah terbebani, pertama motor yang dipakai
adalah motor pinjaman, kedua, si penabrak tidak mempunyi SIM dan tidak membawa
STNK.
Dengan berusaha penuh tenaga, hutang sana
sini akhirnya lunas juga beban harus bayar kepada korban patah tulang itu.
Waktu yang diperlukan lima minggu. Sebenarnya sudah tidak sabar untuk cepat –
cepat mengeluarkan motor saya yang masih dijadikan barang bukti di kepolisian.
Pada minggu kedua sebelum penabrak melunasi kewajibannya, saya menemui
perangkat desa korban, yang memediasi kami. Saya mengatakan bahwa surat
kesepakatan itu bukanlah kwitansi tetapi hanya kesepakatan bersama. Kalau
menunggu terlalu lama untuk ditandatangai oleh pihak korban selain saya tentu
akan lama. Karena menurut perangkat desa itu, tidak akan ditandatangani surat
kesepakatan itu sebelum penabrak memenuhi kewajibannya. Gila bener perangkat
ini…….
Akhirnya saya menunggu waktu sampai
penabrak melunasi kewajibannya, kira – kira sekitar satu bulan baru dapat
memenuhi kewajibannya. Setelah itu kedua belah pihak, saya ajak ke Satlantas
Polres untuk menyelesaikan permasalahan kecelakaaan itu, sebab kasus itu bisa
diselesaikan apabila semua pihak yang terlibat secara bersama – sama menghadap
ke unit kecelakaan satlantas polres.
Namun, ajakan saya yang pertama tidak
dapat menghadirkan kedua belah pihak meskipun saya menunggu sampai sore sambil
liputan berita criminal. Tiga hari berikutnya aku menghubungi lagi, dan untuk
kedua kalinya mereka tidak hadir. Ajakan saya sebagai korban sampai tiga kali.
Saking jengkelnya, saya temui keluarga penabrak di rumahnya untuk minta
penjelasan kenapa sampai tiga kali mangkir dari ajakan saya.
Dari ceritanya, pihak penabrak mengatakan
kesulitan menemui keluarga korban selain saya dan menyiapkan dana untuk menebus
kendaraan yang disita polisi setelah kecelakaan termasuk motor saya. Masalah
tersebut yang menjadi himpitan berikutnya. Begitu banyak himpitan yang mereka
alami, sudang jatuh tertimpa tiang pula. Akhirnya saya berharap untuk hadir dan
menghadirkan korban di Polres, sehingga masalahnya cepat selesai.
Hari perjanjian untuk bertemu di
satlantas pun tiba, dan mereka (semua pihak) hadir, minus saya karena waktu itu
saya masih di terminal sedang liputan dan saya sudah mengatakan kepada mereka
untuk menunggu sekitar 10 menit. Tetapi pihak penabrak tidak sabar menunggu,
mereka pun pulang. Meskipun demikian kasus kecelakaan yang sudah dua bulan
berjalan akhirnya clear. Saya sudah dapat mengambil motor mio, dan pihak korban
satunya tidak perlu dihadirkan. Hanya yang masih menjadi problem bagi penabrak,
belum bisa mengambil motornya. Himpitan demi himpitan sehingga ada kesempatan
untuk menolongnya pun harus berlalu begitu saja. Kasihan…. Karena ekonomi,
pendidikan dan pengetahuan. Itulah realita masyarakat pedesaan di lereng gunung
yang jauh dari ibukota.