Senin, 02 April 2012

Diantara Himpitan, Ditolong Pun Gak Tahu



Catatan ini bukannya saya akan curhat atau menggumam seseorang yang menurut kenyataan merugikan saya secara financial, waktu, tenaga dan sebagainya. Namun lebih kepada pendekatan pemahaman kepada personal yang sedang dalam berbagai himpitan yang akhirnya dapat merugikan dirinya dan orang lain. Mohon maaf ya Pak, Bu kalau merasa saya gunjingkan di catatanku. Sejak awal saya sudah memaafkan dan tidak menuntut apa – apa dari keluarga Bapak.

Kejadian ini berawal dari kecelakaan akhir bulan Januari 2012 kemarin. Seperti catatan saya setelah kejadian itu (……), saya sudah memutuskan tidak akan menuntut atau meminta ganti rugi apapun kepada pihak yang menabrak. Meski secara financial saya dirugikan, karena harus mengembalikan motor mio keasalnya. Keputusan itu saya ambil setelah berkunjung ke rumah anak yang menabrakku dan saya bertemu orang tuanya. Saya melihat dan memahami kondisi ekonomi keluarga itu, sehingga sangat keberatan kalau saya harus meminta ganti rugi.

Seminggu setelah kejadian, ketiga belah pihak (penabrak dan dua korban tertabrak termasuk saya) mengadakan kesepakatan bersama, yang disaksikan oleh perangkat desa dari korban selain saya. Kesepakatn itu garis besarnya bahwa saya tidak menuntut ganti rugi sedikitpun dan pihak korban yang mengalami patah tulang kaki meminta sejumlah uang sebagai biaya pengobatan. Kami menyepakati itu semua, walaupun saya tahu pihak penabrak terlalu berat untuk memenuhi syarat dari korban.

Prediksi saya tepat, penabrak sungguh merasa berat untuk memenuhi syarat itu walaupun hanya Rp 1,5 juta. Mungkin ringan bagi orang berduit apalagi para koruptor Negara ini. Satu milyar saja enteng apalagi cuma Rp 1,5 juta, tentu itu seperti debu bagi mereka. Itulah himpitan ketiga yang membebani keluarga itu. Perlu diketahui, dalam kasus kecelakaan itu, keluarga penabrak sudah terbebani, pertama motor yang dipakai adalah motor pinjaman, kedua, si penabrak tidak mempunyi SIM dan tidak membawa STNK.

Dengan berusaha penuh tenaga, hutang sana sini akhirnya lunas juga beban harus bayar kepada korban patah tulang itu. Waktu yang diperlukan lima minggu. Sebenarnya sudah tidak sabar untuk cepat – cepat mengeluarkan motor saya yang masih dijadikan barang bukti di kepolisian. Pada minggu kedua sebelum penabrak melunasi kewajibannya, saya menemui perangkat desa korban, yang memediasi kami. Saya mengatakan bahwa surat kesepakatan itu bukanlah kwitansi tetapi hanya kesepakatan bersama. Kalau menunggu terlalu lama untuk ditandatangai oleh pihak korban selain saya tentu akan lama. Karena menurut perangkat desa itu, tidak akan ditandatangani surat kesepakatan itu sebelum penabrak memenuhi kewajibannya. Gila bener perangkat ini…….

Akhirnya saya menunggu waktu sampai penabrak melunasi kewajibannya, kira – kira sekitar satu bulan baru dapat memenuhi kewajibannya. Setelah itu kedua belah pihak, saya ajak ke Satlantas Polres untuk menyelesaikan permasalahan kecelakaaan itu, sebab kasus itu bisa diselesaikan apabila semua pihak yang terlibat secara bersama – sama menghadap ke unit kecelakaan satlantas polres.

Namun, ajakan saya yang pertama tidak dapat menghadirkan kedua belah pihak meskipun saya menunggu sampai sore sambil liputan berita criminal. Tiga hari berikutnya aku menghubungi lagi, dan untuk kedua kalinya mereka tidak hadir. Ajakan saya sebagai korban sampai tiga kali. Saking jengkelnya, saya temui keluarga penabrak di rumahnya untuk minta penjelasan kenapa sampai tiga kali mangkir dari ajakan saya.

Dari ceritanya, pihak penabrak mengatakan kesulitan menemui keluarga korban selain saya dan menyiapkan dana untuk menebus kendaraan yang disita polisi setelah kecelakaan termasuk motor saya. Masalah tersebut yang menjadi himpitan berikutnya. Begitu banyak himpitan yang mereka alami, sudang jatuh tertimpa tiang pula. Akhirnya saya berharap untuk hadir dan menghadirkan korban di Polres, sehingga masalahnya cepat selesai.

Hari perjanjian untuk bertemu di satlantas pun tiba, dan mereka (semua pihak) hadir, minus saya karena waktu itu saya masih di terminal sedang liputan dan saya sudah mengatakan kepada mereka untuk menunggu sekitar 10 menit. Tetapi pihak penabrak tidak sabar menunggu, mereka pun pulang. Meskipun demikian kasus kecelakaan yang sudah dua bulan berjalan akhirnya clear. Saya sudah dapat mengambil motor mio, dan pihak korban satunya tidak perlu dihadirkan. Hanya yang masih menjadi problem bagi penabrak, belum bisa mengambil motornya. Himpitan demi himpitan sehingga ada kesempatan untuk menolongnya pun harus berlalu begitu saja. Kasihan…. Karena ekonomi, pendidikan dan pengetahuan. Itulah realita masyarakat pedesaan di lereng gunung yang jauh dari ibukota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar