Setiap Langkah, Nafas Berhembus, Mata Berkedip, Denyut Nadi Adalah Satu Kesatuan Kehidupan Yang Selalu Bermakna
Kamis, 13 September 2012
Souvenir Gitar
Hampir setiap orang mengenal yang namanya gitar. Gitar adalah sebuah alat musik berdawai yang dimainkan dengan cara dipetik, umumya menggunakan jari maupun plektrum. Gitar terbentuk atas sebuah bagian tubuh pokok dengan bagian leher yang padat sebagai tempat senar yang umumnya berjumlah enam didempetkan. Gitar secara tradisional dibentuk dari berbagai jenis kayu dengan senar terbuat dari nilon mapun baja. Secara umum gitar terbag atas 2 jenis yaitu akustik dan elektrik.
Jumat, 07 September 2012
PASUKAN TANAM
Sulitnya petani untuk mencari orang untuk menanam, saat sekarang sudah sangat terasa sekali. Kesulitan itu sudah dirasakan petani di pelosok - pelosok desa, walaupun masih banyak orang yang memungkinkan untuk membantunya. Selain sulit untuk mencari tenaga kerja tanam, petai secara otomatis akan dihadapkan oleh mahalnya ongkos (biaya) tenaga kerja tanam. Sebenarnya tidak hanya sulit mencari tenaga kerja untuk tanam saja, tetapi hampir semua proses usahatani mengalami kesulitan mencari tenaga kerja. Mulai pengolahan tanah, pembibitan, tanam hingga panen dan paska panen.
Sabtu, 01 September 2012
Tambah Ilmu Saat Silaturahmi
Teriknya matahari tidak menyurutkanku untuk terus melaju menuju Tulungagung. Tujuan utama traveling saat ini adalah, silaturahmi ke saudara dan kawan - kawan di Tulungagung dan Blitar. Berangkat dari Wates (Kediri), yang berada di lereng gunung Kelud atau bagian tenggara kabupaten Kediri, saya melalui Sambi - Keras terus ke selatan. Jarak Wates - Tulungagung kurang lebih 40 kilo meter.
Jumat, 31 Agustus 2012
BALON "NDESO"
“Ndang
tata-nen genine, ben cepet akeh buleg-e” perintah seseorang untuk menata api.
“Eee… eee… geret-en taline sing kidul, angine banter iki lho!!!” perintah yang
lainnya. “Teruus… terussss….. hooooooeee…!!! Teriak anak – anak kecil kegirangan
yang berada di sekitar. “Diwat – wati yo, ojo nganti balon-e obah keterak
angin, ngko kenek geni!!!” peringatan Pak Gobir kepada penarik tarik samping.
“Heeeehhhh…!!! Mercone ngko ae, adohna kana, ngko nek mbledoos…. Sida braweek…”
bentak Kang Kanthi untuk menjauhkan mercon yang sudah ditata di seutas tali.
Ada
yang menata api dari “blarak / daun kelapa kering)”, sekam yang dibakar, ada
lagi yang memegang lingkaran dari bamboo sebagai mulut balon, ada pula yang
memegang plastic sebagai badan balon yang perlahan mulai mengembang karena
penuh dengan asap serta terkena panas api. Ada 5 (lima) orang yang memegang
tali di beberapa sisi untuk menjaga balon agar tetap berdiri tegak, 4 orang
menyiapkan mercon – mercon sejumlah kurang lebih 400-an buah, dua orang menyiapkan
sumbu “oncor” yang akan dipasang dilingkar mulut balon, serta tak ketinggalan
sorak sorai para penonton yang terdiri anak kecil, remaja sampai orang tua,
baik pria maupun wanita.
Rabu, 29 Agustus 2012
MemBaca... Beli Buku. Untuk Apaa?????
Ketika cangkrukan di warung kopi Brawijaya Kediri, saya bertemu dengan seorang kawan lama yang hampir sepuluh tahun tidak bertemu. Dengan spontan kami langsung menanyakan kabar dan kondisi masing - masing. Sambil "nyruput" kopi dan menikmati "onde - onde" hangat, kami ngobrol "ngalor - ngidul" tentang aktivitas semenjak pertemuan terakhir kami. Sebut saja nama kawanku itu Sony. Kawan - kawan dulu memanggil nama Sony karena dia ngefan banget ama semua barang yang bermerk sony. Mulai alat - alat elektronik, kaset sampai dengan celana dalamnya....
Pembicaraan kami sangat hangat, sehangat kopi susu jahe yang kami minum. Sruputan demi sruputan kopi kami nikmati, onde-onde, "jemblem" (genjos), kue lapis sudah kami sikat habis. Singkat cerita pertemuan dua kawan ini cukup gayeng...
Kamis, 31 Mei 2012
Selamat Ulang Tahun AQIILA
Empat
tahun sudah anakku yang kedua terlahir ke dunia ini. Empat tahun lalu si bayi
mungil dengan berat 3,1 kg hadir dalam keluargaku. Bayi cantik dan sehat itu
kami beri nama Dzaky Aqiila Prameshwari. Dari nama tersebut sudah dapat
tercermin harapan dan doa kami kepadanya. Menjadi orang yang mandiri dan
pimpinan (ratu) yang Cerdas, mengerti, paham dan kokoh karena akalnya.
Begitulah kurang lebih arti dan makna dari nama yang kami berikan.
Kiky,
panggilan sehari – hari kami, sekarang sudah tumbuh menjadi anak yang cerdas,
periang dan cerewetnya bukan main. Dialah yang dapat membuat suasana gembiran
dan semarak. Akalnya yang selalu aktif, membuatnya terus bergerak kreatif.
Apabila dia tidak ada di rumah, dapat dipastikan rumah kami sepi. Saya akan
sibuk dengan membaca, membuat laporan, Ibuknya yang pendiam dengan telaten
mendampinginya sambil istirahat kerja seharian, eyangnya menikmati aktifitas
kesehariannya dan Mbaknya selalu asyik dengan belajar membaca dan berhitungnya.
Dengan
mobilitas dan kreatifitasnya, dia selalu mampu menembus kesibukan dan aktifitas
orang disekitarnya. Semua orang dalam keluarga pasti dihebohkan dengan aksi –
aksinya juga cerewetnya. Yah begitulah anak – anak… kalau diceritakan hamper
100 persen pujaan. Wajar saja namanya anak….
Sejak
umur tiga tahun, dia sudah ikut – ikutan sekolah Mbaknya. Mbaknya yang 1,5
tahun lebih tua masuk Taman Kanak – kanak, dia nimbrung masuk PAUD. Karena
pembawaannya yang seneng bergaul dengan siapa saja, maka daalm beberapa hari
saja dia sudah hafal nama – nama semua temannya. Berbeda dengan kakaknya yang
pendiam.
Periang,
bersemangat, aktif, disiplin sangat melekat dengan dirinya. Namun demikian emosinya
yang seneng “gemas” atau “gregetan” menambah hebohnya suasana. Jeritan dan
suara keras tidak jarang keluar dari mulutnya yang mungil….
Terkadang
dalam gurauan kami, ketika melihat tingkah laku si Kiky, teringat sewaktu
menjelang kelahirannya. Prosesnya cukup menegangkan. Semalam sebelum
kelahirannya, janin yang di dalam kandungan bergerak sangat aktif. Jejakan kaki
– kakinya sangat kuat seakan pengen lari keluar. Perpindahan posisi dari kiri
ke kanan dan sebaliknya seakan dia pengen cepet – cepet merasakan jajanan
coklat kesukaanya. Betul juga…. Sekitar pukul 23.00 malam, rasa sakit di perut
mulai terasa, juga sering ke belakang untuk buang air kecil. Sesekali sakit
trus reda kembali.
Kami
berfikir, apa mau lahir si janin ini? Padahal dokter memperkirakan sekitar dua
minggu lagi. Sekitar pukul 01.00 perut sudah terasa tidak sakit dan tenang,
tetapi saya tetap waspada dengan berbagai kemungkinan. Kami ingin besok pagi
pergi ke dokter untuk memeriksakan kondisi kandungan. Karena kondisi sudah
tenang, saya megambil wudhu dan sholat malam. Kemudian membaca Al Qur’an. Surat
– surat yang akau baca macam – macam, surah Yaasiin, Al Waqiiah, Ar Rahman,
Yusuf dan sebagainya. Saat membaca surat Luqman, tiba – tiba saya dikejutkan
oleh suara… pyoook…… disertai jeritan kecil istiri saya karena terkejut.
Ternyata
air ketuban keluar dengan deras dan membuat basah kasur. Kami semua panic.
Dengan segera saya menghubungi Pak Sunar (alm) tetangga saya untuk mengantar
kami ke dokter dengan mobil bututnya. Dengan kondisi ngantuk dan mobil yang
sedikit rewel karena saking tuanya, kami berangkat ke rumah bersalin yang
jaraknya sekitar 25 kilometer. Hanya sholawat dan doa saja yang dapat
mengurangi rasa sakit istri saya menjelang proses kelahiran. Tepat pukul 04.00,
kami tiba di rumah bersalin dan selanjutnya mendapat penanganan yang menurut
saya cukup memuaskan dan cepat. Dokter Rinto yang menangani pemeriksaan selama
kehamilan segera siaga dan menyiapkan proses operasi cecar. Sekitar pukul 06.00
proses kelahiran via operasi cesar pun selesai dan hadirlah tangisan bayi
mungil kami, Dzaky Aqiila Prameshwari.
Pengalaman
hidup dan kenangan proses kelahiran Kiky empat tahun lalu masih hangat dibenak
kami. Dan sekarang bayi itu sudah tumbuh menjadi seorang anak lincah yang sudah
mengenyam pendidikan anak usia dini.
Selamat
Ulang Tahun, Sugeng Ambal Warsa, Happy Birthday anaku, anak ibunya Kiky, cucu
Eyang – eyangmu….doa kami semua selalu mengiringi dan semoga terkabul. Amiin
Kamis, 26 April 2012
Celoteh Si Pengamen Tentang Empat Penyakit
Ditengah
rasa jenuh dan jengkel akibat macetnya kendaraan jalur Krian – Surabaya, saya
merasa sedikit terhibur dengan adanya seorang pengamen yang lain daripada
pengamen bis lainnya. Dari pakaiannya saja sudah tidak sama dengan lainnya,
juga cara mengamennya. Pengamen itu menggunakan kostum layaknya seorang pandita
dalam cerita ketoprak. Dengan memakai jubah warna hitam, pengamen itu
melengkapi kostum dengan “kuluk” khas pandita, sabuk cinde keemasan dan tidak
lupa terselip sebilah keris dipinggangnya. Berambut panjang putih agak kusam
gimbal seperti anak “pank”.
Hiburan
yang disajikan bukanlah lagu – lagu yang ujung – ujungnya kerap berbau sindiran
dan kadang – kadang mendoakan jelek atau celaka kepada penumpang. Hiburannya
adalah “ndalang” waktu “goro – goro”. Tampaknya para penumpang tertarik dengan
aksi pengamen itu, selain kostumnya tak lazim juga action “ndalangnya” yang
cukup menarik. Seperti kita ketahui, waktu goro – goro dalam cerita wayang
diwarnai dengan hiburan, humor dan tak lupa terselip petuah – petuah. Tokoh
Limbuk dan Cangik yang menjadi sentral ceritanya.
Ada
pesan menarik dari celoteh Si Pengamen itu. Dengan gaya khas seorang dalang,
dia mengatakan bahwa ada empat penyakit manusia yang tidak dapat disembuhkan
oleh seorang dokter. Penyakit itu adalah KURAP, KUDIS, KUTIL, KUMAN. Penyakit
yang dekat dengan penyakit kulit, hanya saja ke-empatnya bukanlah penyakit
kulit biasa yang cukup dengan olesan “kalpanax” bisa hilang.
Minggu, 08 April 2012
Klakson Kesabaran
“thiin… thiiin… thiin…” bunyi klakson
motor, mobil disertai deruman suara motor ketika lampu merah berganti ke hijau
di sebuah traffic light. Suara klakson itu seakan motor atau mobil yang berada
di belakang “nguyak – nguyak” motor / mobil didepannya. Padahal semua tahu
kalau lampu hijau menyala berarti kendaraan boleh jalan untuk melanjutkan
perjalanan.
Potret kecil yang sering kita jumpai itu,
kiranya dapatlah menjadi suatu pertanda apabila “para pengguna jalan dalam
kondisi tidak sabar alias “yak – yakan” atau “grusa – grusu”. Mungkin itu
kesimpulan sepihak dari saya saja, tetapi itu bukan tanpa alasan. Kesabaran dan
ketenangan berkendara merupakan salah satu factor untuk mengurangi resiko
kecelakaan.
Indikasi pengendara saat lampu hijau baru
menyala sudah me”nguyak-nguyak” pengendara didepannya dengan suara klakson,
pertanda si pengendara sedang dikejar waktu. Entah apa yang mereka kejar… apa
hokum “time is money” sedang mereka berlakukan sehingga kehilangan waktu satu
hingga dua menit saja sudah tidak sabar.
Saya menyadari benar, banyak pengendara
yang harus dikejar waktu karena mereka memanfaatkan waktu untuk mendapatkan
sesuatu yang menjadi tujuannya. Misalnya, seorang sales sebuah produk yang
memburu waktu untuk segera menuju dari satu took ke took lainnya sehingga
mereka akan memacu kendaraanya dengan kecepatan tinggi. Nah apabila bertepatan
lewat di traffic light dan lampu yang menyala merah, tidak jarang mereka
menggerutu karena perjalanannya menjadi lebih lambat. Begitu lampu hijau
menyala, tak heran apabila mereka ingin memacu kendaraannya secepat mungkin.
Rabu, 04 April 2012
Salah Ambil
Pagi – pagi sudah dibuat terpingkal –
pingkal oleh cerita salah seorang kawan. Cerita yang menggelikan sekaligus
memilukan. Pagi tadi ketika cangkruk ngopi bersama kawan – kawan karyawan salah
satu lembaga keuangan milik PT. Astra group di warung sebelah timur kantornya,
salah seorang diantara mereka menceritakan istrinya. Dia sendiri ketika
mengawali cerita itu terlebih dulu ketawa terpingkal – pingkal sambil
ngoceh..”kasihan…. kasihannn…”
Cerita itu terjadi kemarin malam
dirumahnya. Waktu itu istrinya merasa dimatanya ada sesuatu yang mengganjal.
“Ehmm mungkin mata ni kotor… aku bersihkan saja ama tetes mata” kata istrinya.
Kemudian istrinya menuju meja rias, dimana biasa menyimpan tetes mata. Sambil
menahan rasa kantuk, si istri mencari tetes mata di rak – rak kecil meja
riasnya. “Naah.. ni dia” kata si istri lega sambil membuka tutup botol kecil
itu dan langsung meneteskan ke matanya.
“Wuaduuuuh… peeriiih….” Jerit si istri
sambil berlari menuju kamar mandi. Kawan saya yang sedang menonton televisi
sontak terkejut dan lari mengikuti istrinya. Tampak si istri mencuci muka
sambil menutup matanya. Mulutnya masih mengerang perih. Kawan saya langsung
menanyakan kejadiannya kepada istrinya, terus membimbingnya ke bibir tempat
tidurnya. Istrinya menjawab sambil menangis.
Selasa, 03 April 2012
Forum Seniman Reog Ponorogo (Respon gerakan independen seniman reog Ponorogo)
Jum’at pagi (30/03/2012), saya mendapat
telepon dari seorang saudara seniman reog dari Jember tetapi asli Ponorogo.
Meskipun dia bekerja dan bertempat tinggal jauh dari kota Reog tetapi
eksistensinya di Ponorogo terkait “pereogan” tidak dapat diragukan lagi. Dia
mengundang saya untuk menghadiri sarasehan kesenian reog yang dilaksanakan di
desa Jabung, kecamatan Jetis, Ponorogo. Sarasehan itu akan mengundang seluruh
grup reog yang ada di Ponorogo dan seluruh instansi yang terkait, seperti
Pemda, DPRD Ponorogo, Dinas pariwisata dan olah raga serta yang lainnya.
Kemungkinan juga akan hadir salah seorang anggota DPRD propinsi Jawa Timur
komisi E yang membidangi kebudayaan.
Selain mengharap kehadiran saya, dia juga
meminta sedikit masukan untuk acara tersebut. Sebelumnya dia menceritakan
proses sampai dihelatnya sarasehan yang akan melibatkan ratusan seniman reog
Ponorogo itu. Saya tahu dan paham tentang rencana acara sarasehan itu, karena
jauh hari sebelum acara itu direncanakan Kawan saya itu sering berdiskusi dengan
saya perihal keprihatinan dan kejengkelan seniman reog yang semakin
terpinggirkan. Mungkin salah satu hasil sarasehan itu adalah usul atau konsep
saya, yaitu tentang “pentas reog sepanjang tahun”.
Sebelumnya saya mohon maaf kepada seluruh
seniman reog Ponorogo juga Kang Kawan saya, apabila saya tidak dapat hadir dalam
sarasehan itu (01/04/2012) bersama mereka karena masih ada liputan di Kediri.
Namun demikian beberapa konsep dan celoteh saya sejak tahun 1999 yang saya
titipkan kepada kawan saya itu mungkin bisa mewakilinya. Sekali lagi mohon
maaf.
Meskipun saya tidak hadir di Jabung,
tetapi hati dan pikiran saya seperti berada di sana ketika kawan saya
menceritakan via telepon dan SMS kondisi saat sarasehan. Mungkin perasaan
seniman reog waktu sarasehan sama dengan perasaan saya sesame seniman reog.
Rasa haru, puas atas beberapa hal yang mungkin tidak diperoleh selama ini.
Apresiasi ketua DPRD Ponorogo dan beberapa anggotanya, salah seorang komisi E
DPRD propinsi Jawa Timur, serta seluruh seniman reog membuat sarasehan itu
semakin meriah dan berkesan.
Saya pribadi sangat appreciate dengan
diadakanya sarasehan akbar itu, sehingga komunikasi, silaturahmi bahkan
perbedaan pendapat yang sudah lama mereka (seniman) pendam mungkin bisa mencair
hari itu. Memang dugaan awal saya dulu seperti itu, dan akhirnya terbukti.
Sesepuh – sesepuh yang tidak aktif karena sesuatu hal, hadir dan antusias
mengikuti acara itu. Hipotesa saya sejak awal adalah bahwa seniman reog
ponorogo yang merasa terpinggirkan oleh Pemda Ponorogo itu menginginkan untuk
diperhatikan baik kesenian reog maupun senimannya, juga Yayasan Reyog Ponorogo
yang bertanggungjawab atas pembinaan dan perkembangan perlu ada perombakan.
Pada titik puncaknya, terbentuklah Forum
Seniman Reog Ponorogo (FSRP). Forum yang mewadahi seluruh seniman reog dan
menjadi forum komunikasi para seniman reog dalam melestarikan dan mengembangkan
kesenian reog Ponorogo.
Saya menyambut gembira dan lega atas
terbentuknya FSRP. Forum ini paling tidak menjadi tempat atau media komunikasi
para seniman reog. FSRP juga menjadi balancing control bagi Yayasan Reyog
Ponorogo yang selama ini “mandul”. Terkait Yayasan Reog ini masyarakat bahkan
para seniman sendiri tidak tahu apa saja kegiatan yang dilaksanakan, target dan
reportnya bagaimana, punya anggaran atau tidak dan sebagainya. Masyarakat hanya
tahu kalau setiap bulan purnama ada pentas reog di alun – alun dan setiap tahun
diselenggarakan Festival Reog Nasional.
Prediksi saya, dengan munculnya FSRP akan
menambah dinamisnya seniman reog pada umumnya dan kesenian reog akan lebih
berkembang, semarak serta penuh warna. Kreatifitas seniman reog di FSRP, yang
mayoritas berada di luar birokrasi, akan selalu muncul meskipun sangat
sederhana dan terkesan alamiah. Jauh dari polesan dari seniman yang berbasis
sekolah tari. Suasana keakraban, persaudaraan akan terasa sekali diantara grup
reog satu dengan lainnya.
Adanya FSRP ini, perlu adanya kewaspadaan
seniman reog itu sendiri terhadap intervensi atau pendomplengan atau KLAIM dari
partai politik. Meskipun Ketua DPRD sudah mengatakan bahwa kalau sudah
berkumpul bersama antara seniman berarti kita sebagai seniman reog tanpa ada
embel – embel partai. Namun demikian itu bukanlah suatu jaminan, karena masih
di awal perjalanan FSRP. Kita berharap saja semoga para politisi tidak
memanfaatkan FSRP dalam suasana politik praktis dan tetap menjaga independensi
seniman reog.
Senin, 02 April 2012
Diantara Himpitan, Ditolong Pun Gak Tahu
Catatan ini bukannya saya akan curhat
atau menggumam seseorang yang menurut kenyataan merugikan saya secara
financial, waktu, tenaga dan sebagainya. Namun lebih kepada pendekatan
pemahaman kepada personal yang sedang dalam berbagai himpitan yang akhirnya
dapat merugikan dirinya dan orang lain. Mohon maaf ya Pak, Bu kalau merasa saya
gunjingkan di catatanku. Sejak awal saya sudah memaafkan dan tidak menuntut apa
– apa dari keluarga Bapak.
Kejadian ini berawal dari kecelakaan
akhir bulan Januari 2012 kemarin. Seperti catatan saya setelah kejadian itu
(……), saya sudah memutuskan tidak akan menuntut atau meminta ganti rugi apapun
kepada pihak yang menabrak. Meski secara financial saya dirugikan, karena harus
mengembalikan motor mio keasalnya. Keputusan itu saya ambil setelah berkunjung
ke rumah anak yang menabrakku dan saya bertemu orang tuanya. Saya melihat dan
memahami kondisi ekonomi keluarga itu, sehingga sangat keberatan kalau saya
harus meminta ganti rugi.
Seminggu setelah kejadian, ketiga belah
pihak (penabrak dan dua korban tertabrak termasuk saya) mengadakan kesepakatan
bersama, yang disaksikan oleh perangkat desa dari korban selain saya.
Kesepakatn itu garis besarnya bahwa saya tidak menuntut ganti rugi sedikitpun
dan pihak korban yang mengalami patah tulang kaki meminta sejumlah uang sebagai
biaya pengobatan. Kami menyepakati itu semua, walaupun saya tahu pihak penabrak
terlalu berat untuk memenuhi syarat dari korban.
Prediksi saya tepat, penabrak sungguh
merasa berat untuk memenuhi syarat itu walaupun hanya Rp 1,5 juta. Mungkin
ringan bagi orang berduit apalagi para koruptor Negara ini. Satu milyar saja
enteng apalagi cuma Rp 1,5 juta, tentu itu seperti debu bagi mereka. Itulah
himpitan ketiga yang membebani keluarga itu. Perlu diketahui, dalam kasus
kecelakaan itu, keluarga penabrak sudah terbebani, pertama motor yang dipakai
adalah motor pinjaman, kedua, si penabrak tidak mempunyi SIM dan tidak membawa
STNK.
Dengan berusaha penuh tenaga, hutang sana
sini akhirnya lunas juga beban harus bayar kepada korban patah tulang itu.
Waktu yang diperlukan lima minggu. Sebenarnya sudah tidak sabar untuk cepat –
cepat mengeluarkan motor saya yang masih dijadikan barang bukti di kepolisian.
Pada minggu kedua sebelum penabrak melunasi kewajibannya, saya menemui
perangkat desa korban, yang memediasi kami. Saya mengatakan bahwa surat
kesepakatan itu bukanlah kwitansi tetapi hanya kesepakatan bersama. Kalau
menunggu terlalu lama untuk ditandatangai oleh pihak korban selain saya tentu
akan lama. Karena menurut perangkat desa itu, tidak akan ditandatangani surat
kesepakatan itu sebelum penabrak memenuhi kewajibannya. Gila bener perangkat
ini…….
Akhirnya saya menunggu waktu sampai
penabrak melunasi kewajibannya, kira – kira sekitar satu bulan baru dapat
memenuhi kewajibannya. Setelah itu kedua belah pihak, saya ajak ke Satlantas
Polres untuk menyelesaikan permasalahan kecelakaaan itu, sebab kasus itu bisa
diselesaikan apabila semua pihak yang terlibat secara bersama – sama menghadap
ke unit kecelakaan satlantas polres.
Namun, ajakan saya yang pertama tidak
dapat menghadirkan kedua belah pihak meskipun saya menunggu sampai sore sambil
liputan berita criminal. Tiga hari berikutnya aku menghubungi lagi, dan untuk
kedua kalinya mereka tidak hadir. Ajakan saya sebagai korban sampai tiga kali.
Saking jengkelnya, saya temui keluarga penabrak di rumahnya untuk minta
penjelasan kenapa sampai tiga kali mangkir dari ajakan saya.
Dari ceritanya, pihak penabrak mengatakan
kesulitan menemui keluarga korban selain saya dan menyiapkan dana untuk menebus
kendaraan yang disita polisi setelah kecelakaan termasuk motor saya. Masalah
tersebut yang menjadi himpitan berikutnya. Begitu banyak himpitan yang mereka
alami, sudang jatuh tertimpa tiang pula. Akhirnya saya berharap untuk hadir dan
menghadirkan korban di Polres, sehingga masalahnya cepat selesai.
Hari perjanjian untuk bertemu di
satlantas pun tiba, dan mereka (semua pihak) hadir, minus saya karena waktu itu
saya masih di terminal sedang liputan dan saya sudah mengatakan kepada mereka
untuk menunggu sekitar 10 menit. Tetapi pihak penabrak tidak sabar menunggu,
mereka pun pulang. Meskipun demikian kasus kecelakaan yang sudah dua bulan
berjalan akhirnya clear. Saya sudah dapat mengambil motor mio, dan pihak korban
satunya tidak perlu dihadirkan. Hanya yang masih menjadi problem bagi penabrak,
belum bisa mengambil motornya. Himpitan demi himpitan sehingga ada kesempatan
untuk menolongnya pun harus berlalu begitu saja. Kasihan…. Karena ekonomi,
pendidikan dan pengetahuan. Itulah realita masyarakat pedesaan di lereng gunung
yang jauh dari ibukota.
Minggu, 01 April 2012
Jangan Sepelekan Hal Sepele
Saya masih teringat dengan jelas pesan Profesor Idha Hariyanto dan Profesor Soetriono terkait dengan menulis, dan kalimat itu sebagai salah satu sumber spirit saya untuk menuangkan ide dan isi otak saya dalam sebuah tulisan. “Jangan sepelekan hal yang kecil dan sepele. Sesuatu yang besar itu tidak jarang lahir dari hal yang kecil dan sepele” begitu pesan Prof. Idha saat menyampaikan mata kuliah Filsafat Ilmu di program studi Agribisnis Pascasarjana Universitas Jember tahun 2011 lalu. Demikian pula pesan Prof. Soetriono dalam mata kuliah yang sama mengatakan tuangkan ide dan gagasan kita melalui tulisan walaupun menurut orang lain sepele. Kedua pesan itu selalu saya ingat dan menjadi motivasi tersendiri dalam beberapa hal terutama sesuatu yang terkait dengan pengamatan, pendalaman, pemahaman hidup yang saya coba tuangkan dalam beberapa tulisan.
Kedua Guru Besar Universitas Jember tersebut menginspirasi saya untuk selalu mencatat, memperhatikan, mendalami dan mencoba menulis apa saja yang ada dipikiran. Beliau adalah ahli ekonomi pertanian yang berbeda generasi yang sangat konsisten dengan ilmu yang dipelajari. Ketekunannya mengamati tentang tebu dan daya saing hasil pertanian terutama kopi sudah mengantar beliau – beliau menjadi seorang professor dan menelurkan beberapa buku, yang mana tentu memberikan manfaat bagi pembaca dan orang lain.
Saya sering mendengar dari kawan – kawan mengkritik bahkan mencemooh sebuah tulisan baik itu artikel, cerpen, makalah, buku atau hanya sekedar celotehan, tetapi ironisnya saya belum pernah sekalipun tulisan yang mereka buat. Kawan – kawan saya tersebut bak seorang kritikus handal, menganalisa sebuah tulisan dari berbagai sudut dan teori yang diperolehnya yang ujung – ujungnya meremehkan tulisan demi tulisan. Mereka belum menyadari bahwa Si penulis telah berupaya untuk menuangkan segala uneg – uneg, gagasan, idenya dalam bentuk tulisan. Tulisan original si penulis dengan berbagai gaya tulis, kata yang dipakai kiranya patut kita apresiasi, kita hargai meskipun belum dapat memuaskan pembaca atau belum memenuhi kaidah sebuah tulisan.
Lebih bijak dan arif, apapun karya kreatif dalam bentuk apapun dari seseorang patut untuk mendapat penghargaan, bukan hanya bisa mengkritik, mencemooh, meremehkan tanpa menyadari dirinya sendiri tidak dapat berbuat seperti orang yang dikritiknya. Ehmmm ironis… anehnya itu banyak dan sering kita jumpai di sekitar kita bahkan orang – orang yang sering melakukan hal seperti itu adalah orang yang berpendidikan sarjana.
Hal sepele atau sering dianggap sepele di sekitar kita sangatlah banyak. Coba kita bersama instropeksi mulai dari diri pribadi yang tidak lepas sedetikpun berinteraksi dengan masing – masing bagian tubuh kita, setelah itu kita melihat interaksi dengan sesuatu di luar kita. Apakah hal yang menurut banyak orang itu juga sepele menurut kita atau sebaliknya? Kiranya itu tidak perlu kita pikirkan secara rumit dan detail, karena dalam hidup itu waktu terus mengalir, roda kehidupan terus berjalan. Suatu kesempatan, benda, waktu dan lainnya pada waktu tertentu akan menjadi sangat penting tetapi pada waktu yang lain bisa menjadi hal yang sangat remeh. Contoh mudah dan kita pasti mengalami adalah “kentut”. Kentut menjadi remeh ketika kita tidak sedang mengalami gangguan pencernaan atau lainnya, tetapi menjadi sangat penting apabila kita sedang masuk angin, habis operasi dan sebagainya. Bukankah begitu manusia, sering menganggap sesuatu remeh ketika tidak sedang memerlukannya.
Maka janganlah meremehkan sesuatu yang remeh sekalipun hal itu paling remeh menurut kita… seperti kentut tadi….
Terima kasih atas petuah - petuahnya Profesor…..
Kedua Guru Besar Universitas Jember tersebut menginspirasi saya untuk selalu mencatat, memperhatikan, mendalami dan mencoba menulis apa saja yang ada dipikiran. Beliau adalah ahli ekonomi pertanian yang berbeda generasi yang sangat konsisten dengan ilmu yang dipelajari. Ketekunannya mengamati tentang tebu dan daya saing hasil pertanian terutama kopi sudah mengantar beliau – beliau menjadi seorang professor dan menelurkan beberapa buku, yang mana tentu memberikan manfaat bagi pembaca dan orang lain.
Saya sering mendengar dari kawan – kawan mengkritik bahkan mencemooh sebuah tulisan baik itu artikel, cerpen, makalah, buku atau hanya sekedar celotehan, tetapi ironisnya saya belum pernah sekalipun tulisan yang mereka buat. Kawan – kawan saya tersebut bak seorang kritikus handal, menganalisa sebuah tulisan dari berbagai sudut dan teori yang diperolehnya yang ujung – ujungnya meremehkan tulisan demi tulisan. Mereka belum menyadari bahwa Si penulis telah berupaya untuk menuangkan segala uneg – uneg, gagasan, idenya dalam bentuk tulisan. Tulisan original si penulis dengan berbagai gaya tulis, kata yang dipakai kiranya patut kita apresiasi, kita hargai meskipun belum dapat memuaskan pembaca atau belum memenuhi kaidah sebuah tulisan.
Lebih bijak dan arif, apapun karya kreatif dalam bentuk apapun dari seseorang patut untuk mendapat penghargaan, bukan hanya bisa mengkritik, mencemooh, meremehkan tanpa menyadari dirinya sendiri tidak dapat berbuat seperti orang yang dikritiknya. Ehmmm ironis… anehnya itu banyak dan sering kita jumpai di sekitar kita bahkan orang – orang yang sering melakukan hal seperti itu adalah orang yang berpendidikan sarjana.
Hal sepele atau sering dianggap sepele di sekitar kita sangatlah banyak. Coba kita bersama instropeksi mulai dari diri pribadi yang tidak lepas sedetikpun berinteraksi dengan masing – masing bagian tubuh kita, setelah itu kita melihat interaksi dengan sesuatu di luar kita. Apakah hal yang menurut banyak orang itu juga sepele menurut kita atau sebaliknya? Kiranya itu tidak perlu kita pikirkan secara rumit dan detail, karena dalam hidup itu waktu terus mengalir, roda kehidupan terus berjalan. Suatu kesempatan, benda, waktu dan lainnya pada waktu tertentu akan menjadi sangat penting tetapi pada waktu yang lain bisa menjadi hal yang sangat remeh. Contoh mudah dan kita pasti mengalami adalah “kentut”. Kentut menjadi remeh ketika kita tidak sedang mengalami gangguan pencernaan atau lainnya, tetapi menjadi sangat penting apabila kita sedang masuk angin, habis operasi dan sebagainya. Bukankah begitu manusia, sering menganggap sesuatu remeh ketika tidak sedang memerlukannya.
Maka janganlah meremehkan sesuatu yang remeh sekalipun hal itu paling remeh menurut kita… seperti kentut tadi….
Terima kasih atas petuah - petuahnya Profesor…..
Kamis, 29 Maret 2012
Rumaketing Paseduluran
“Rumaketing Paseduluran” atau eratnya sebuah persaudaraan merupakan idaman normative masyarakat. Tatanan kehidupan bermasyarakat, berkelompok biasanya mempunyai ukuran ideal yaitu persaudaraan yang erat, kebersamaan, kompak dan seabrek istilah. Singkat kata, dalam berbagai kelompok yang mengatasnamakan kelompok kanan maupun kiri masih mempunyai capaian ideal itu. Bahkan sekelompok orang yang lain daripada yang lain atau dianggap asing oleh kelompok lain sering malah lebih erat persaudaraanya dibandingkan dengan kelompok yang tampak tenang dan nyaman. Mereka lebih merasa bagian dari kelompok itu, jadi apabila dari salah satu anggota yang sakit tentu akan dirasakan oleh yang lainnya.
Pagi tadi, saat saya “nyangkruk” di kantin Mako 1 Polresta Kediri, saya sangat tertarik dengan cerita dari salah seorang Bapak polisi. Beliau menceritakan ketika sedang bertugas di Negeri Khemer Merah Kamboja sebagai pasukan perdamaian PBB tahun 1993. Pasukan perdamaian dari Indonesia itu bertugas selama satu tahun. Dalam satu tim itu, mereka saling membantu dan melindungi satu sama lain, karena di Kamboja saat itu sedang dalam kondisi perang.
Selama satu tahun itu pula, rasa perkawanan, persahabatan dan persaudaraan terpupuk. Suka dan duka mereka lalui bersama demi mengemban tugas kemanusiaan dari Perserikatan Bangsa – Bangsa. Pengalaman hidup bersama di bawah tekanan perang dan di antara bayang – bayang kematian, membawa rasa persaudaraan yang mendalam sampai kini. Padahal sejak dalam satu tim sampai sekarang, secara kepangkatan dan jabatan jelas berbeda. Apalagi sekarang, bahkan dalam satu tim itu sekarang ada yang menjadi seorang jenderal.
Cerita Bapak polisi itu mengingatkanku ketika masih aktif menjadi Pramuka semasa SMP dulu. Saya juga mempunyai tim yang kami namai Kreatifitas Bocah – bocah Aliran Ling lung (KEBAL). Kelompok itu berangkat dari perkemahan lomba tingkat III sampai IV. Kami tergabung dalam satu regu. Proses pembelajaran dan penempaan yang berat dan panjang, mengantar kami ke sebuah perasaan mendalam seperti saudara sendiri. Dan itu kami rasakan sampai sekarang, meskipun kami terpisah jauh tetapi komunikasi dan rasa persaudaraan kami masih tetap.
Cerita singkat di atas, lantas mengingatkanku pada petuah orang tua dulu. “RUmaketing Paseduluran” itu penting. Dengan menjalin persaudaraan dan silaturahmi dengan siapa saja, tentu hidup ini tidak akan sendiri. Hidup akan menjadi lebih semarak dan bergairah diantara saudara – saudara sejati walaupun banyak kepentingan yang menguasai nafsu manusia. Tambah kawan berarti tambah saudara, tambah saudara berarti menambah rizqi dan memparpanjang umur. Kenapa demikian?? Kiranya kita perlu merenungkannya karena setiap manusia pasti mempunyai maksud dalam memilih dan memilah kawan, saudara. Bukankah begitu??
Pagi tadi, saat saya “nyangkruk” di kantin Mako 1 Polresta Kediri, saya sangat tertarik dengan cerita dari salah seorang Bapak polisi. Beliau menceritakan ketika sedang bertugas di Negeri Khemer Merah Kamboja sebagai pasukan perdamaian PBB tahun 1993. Pasukan perdamaian dari Indonesia itu bertugas selama satu tahun. Dalam satu tim itu, mereka saling membantu dan melindungi satu sama lain, karena di Kamboja saat itu sedang dalam kondisi perang.
Selama satu tahun itu pula, rasa perkawanan, persahabatan dan persaudaraan terpupuk. Suka dan duka mereka lalui bersama demi mengemban tugas kemanusiaan dari Perserikatan Bangsa – Bangsa. Pengalaman hidup bersama di bawah tekanan perang dan di antara bayang – bayang kematian, membawa rasa persaudaraan yang mendalam sampai kini. Padahal sejak dalam satu tim sampai sekarang, secara kepangkatan dan jabatan jelas berbeda. Apalagi sekarang, bahkan dalam satu tim itu sekarang ada yang menjadi seorang jenderal.
Cerita Bapak polisi itu mengingatkanku ketika masih aktif menjadi Pramuka semasa SMP dulu. Saya juga mempunyai tim yang kami namai Kreatifitas Bocah – bocah Aliran Ling lung (KEBAL). Kelompok itu berangkat dari perkemahan lomba tingkat III sampai IV. Kami tergabung dalam satu regu. Proses pembelajaran dan penempaan yang berat dan panjang, mengantar kami ke sebuah perasaan mendalam seperti saudara sendiri. Dan itu kami rasakan sampai sekarang, meskipun kami terpisah jauh tetapi komunikasi dan rasa persaudaraan kami masih tetap.
Cerita singkat di atas, lantas mengingatkanku pada petuah orang tua dulu. “RUmaketing Paseduluran” itu penting. Dengan menjalin persaudaraan dan silaturahmi dengan siapa saja, tentu hidup ini tidak akan sendiri. Hidup akan menjadi lebih semarak dan bergairah diantara saudara – saudara sejati walaupun banyak kepentingan yang menguasai nafsu manusia. Tambah kawan berarti tambah saudara, tambah saudara berarti menambah rizqi dan memparpanjang umur. Kenapa demikian?? Kiranya kita perlu merenungkannya karena setiap manusia pasti mempunyai maksud dalam memilih dan memilah kawan, saudara. Bukankah begitu??
Jumat, 23 Maret 2012
Kelangan Rupiah, Oleh Berkah
Sebuah ungkapan sederhana yang lama tidak saya dengar dan mungkin banyak orang merasakan seperti saya, atau bahkan belum mendengar sama sekali. Satu kalimat sederhana, singkat dan mudah diingat tapi kalau mau memaknai tentu akan menjadi panjang uraiannya. Kalimat berbahasa Jawa tersebut apabila berbahasa Indonesia kurang lebih menjadi “Kehilangan Rupiah, mendapat Barokah” yang arti sederhana kira – kira biarlah kehilangan uang (rupiah) tetapi barokah dari Tuhan yang kita terima.
Sore kemarin, ketika saya “marung” di sebuah warung kopi, ada beberapa orang asyik mengobrol seputar jual beli tanah dan rumah. Tanpa sengaja saya memperhatikan dan mengikuti cerita – cerita mereka, sapa tahu ada yang menarik dan memberikan informasi berharga. Sambil menikmati kopi bubuk hitam ditambah suasana sejuk udara diwarung kopi itu, saya mencoba menyimak cerita itu. Nampaknya yang ngobrol itu semua unsure lengkap, ada penjual, pembeli dan “Mac Leren” alias makelar-nya. Mereka membicarakan mulai persoalan lokasi, luas, kepemilihan, dokumen, situasi sekitar lokasi dan hal – hal yang terkait dengan rumah dan tanah lainnya.
Obrolan itu tidak begitu lama, saya nggak tahu apakah mereka ngobrol di warung itu sudah lama? Tetapi sepengetahuan saya mereka belum lama ngobrol, melihat salah seorang dari mereka harus menuangkan kopinya di cawan karena panas. Entah tiba – tiba, orang yang berbaju hitam itu berkata “ Ga opo – opo, kelangan rupiah oleh berkah. Saya akan membeli rumah dan tanah itu dengan tempo pelunasan 2 (dua) bulan”. Mendengar dari pembicaraan itu, orang yang berbaju hitam tersebut adalah pembelinya. Menyimah perkataan pembeli itu, saya spontan teringat dengan ungkapan sederhana yang sudah lama sekali tidak mendengarnya, “kelangan rupiah, oleh berkah”.
Dari cerita singkat di atas, kita mungkin sudah dapat mereka salah satu makna dari kalimat “kelangan rupiah, oleh berkah”. Si pembeli akan mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli rumah dan tanah, tetapi barokah berupa rumah yang dapat dijadikan tempat berteduh, berlindung, tempat tinggal dia bersama keluarganya akan didapatkannya. Berkah itulah yang tentunya selalu diharapkan oleh semua manusia. Pengharapan berkah Tuhan Yang Maha Pemurah-lah yang membuat manusia bersemangat untuk berjuang melakukan apa saja demi keluarga, masyarakat dan bangsanya (kalau ingat… hehe tetapi minimal bagai diri dan keluarga).
Saya percaya bahwa arti kalimat itu tidak hanya itu saja, tetapi masih ribuan makna yang sesuai dengan interpretasi atau sudut pandang pribadi orang masing – masing. Sah – sah saja mengartikan kalimat sederhana itu dengan sudut pandang sempit maupun komplek. “Kelangan rupiah, oleh berkah” hanyalah sebuah ungkapan, tetapi ribuan makna dapat kita dapat dari situ. Semoga saja tidak hanya terbatas pada kata – kata dan ribuan makna tetapi lebih kepada aktualisasi dalam kehidupan. Bukankah begitu…??
Sore kemarin, ketika saya “marung” di sebuah warung kopi, ada beberapa orang asyik mengobrol seputar jual beli tanah dan rumah. Tanpa sengaja saya memperhatikan dan mengikuti cerita – cerita mereka, sapa tahu ada yang menarik dan memberikan informasi berharga. Sambil menikmati kopi bubuk hitam ditambah suasana sejuk udara diwarung kopi itu, saya mencoba menyimak cerita itu. Nampaknya yang ngobrol itu semua unsure lengkap, ada penjual, pembeli dan “Mac Leren” alias makelar-nya. Mereka membicarakan mulai persoalan lokasi, luas, kepemilihan, dokumen, situasi sekitar lokasi dan hal – hal yang terkait dengan rumah dan tanah lainnya.
Obrolan itu tidak begitu lama, saya nggak tahu apakah mereka ngobrol di warung itu sudah lama? Tetapi sepengetahuan saya mereka belum lama ngobrol, melihat salah seorang dari mereka harus menuangkan kopinya di cawan karena panas. Entah tiba – tiba, orang yang berbaju hitam itu berkata “ Ga opo – opo, kelangan rupiah oleh berkah. Saya akan membeli rumah dan tanah itu dengan tempo pelunasan 2 (dua) bulan”. Mendengar dari pembicaraan itu, orang yang berbaju hitam tersebut adalah pembelinya. Menyimah perkataan pembeli itu, saya spontan teringat dengan ungkapan sederhana yang sudah lama sekali tidak mendengarnya, “kelangan rupiah, oleh berkah”.
Dari cerita singkat di atas, kita mungkin sudah dapat mereka salah satu makna dari kalimat “kelangan rupiah, oleh berkah”. Si pembeli akan mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli rumah dan tanah, tetapi barokah berupa rumah yang dapat dijadikan tempat berteduh, berlindung, tempat tinggal dia bersama keluarganya akan didapatkannya. Berkah itulah yang tentunya selalu diharapkan oleh semua manusia. Pengharapan berkah Tuhan Yang Maha Pemurah-lah yang membuat manusia bersemangat untuk berjuang melakukan apa saja demi keluarga, masyarakat dan bangsanya (kalau ingat… hehe tetapi minimal bagai diri dan keluarga).
Saya percaya bahwa arti kalimat itu tidak hanya itu saja, tetapi masih ribuan makna yang sesuai dengan interpretasi atau sudut pandang pribadi orang masing – masing. Sah – sah saja mengartikan kalimat sederhana itu dengan sudut pandang sempit maupun komplek. “Kelangan rupiah, oleh berkah” hanyalah sebuah ungkapan, tetapi ribuan makna dapat kita dapat dari situ. Semoga saja tidak hanya terbatas pada kata – kata dan ribuan makna tetapi lebih kepada aktualisasi dalam kehidupan. Bukankah begitu…??
Rabu, 14 Maret 2012
Dawet Jabung
“Ehmmm sueegerrr….” Spontan ucapan ringan itu meluncur dari mulut ini sebagai pertanda kelegaan yang tiada tara. Batas antara dahaga dan segarnya kerongkongan sehingga sering melupakan anugerah Tuhan. Ya… ucapan spontan meluncur begitu saja setelah menikmati semangkok “dawet jabung” yang terkenal itu. Air santan bermaniskan “legen” dan sedikit “cendol” telah melepaskan rasa dahaga, seakan mengalir perlahan pada keringnya kerongkongan. Rasa segar dan manis itu membuat syaraf – syaraf dan urat – urat di sekujur tubuh menjadi dingin serta rasa pegal menjadi hilang seketika. Sesondok demi sesendok saya nikmati perlahan, sayang kalau kenikmatan ini terlewat begitu saja. Apalagi si penjualnya yang cantik menambah suasana menjadi lebih Oke. Semilir angin hamparan sawah membangkitkan semangat yang luar biasa pada jiwa ini.
Dawet jabung merupakan dawet yang berasal dari salah satu desa di kabupaten Ponorogo, tepatnya desa Jabung, desa yang terletak di antara pondok besar di Jawa Timur yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor dan Pondok Pesantren Walisongo Ngabar. Namun demikian di daerah Ponorogo dan sekitarnya banyak kita jumpai penjual dawet jabung. Kalau anda sedang berada atau melewati kota Ponorogo, sangatlah mudah untuk mencari letak penjual dawet jabung itu.
Dawet merupakan minuman tradisional yang sangat sederhana sekali cara pembuatannya. Satu mangkuk dawet hanya terdiri air yang bersantan, legen (nira) kelapa dan cendol, terkadang masih ditambahi dengan “gempol”. Gempol terbuat dari tepung beras yang dibentuk bulat yang dicampurkan dengan dawet. Peralatan yang digunakan penjual dawet juga sangat sederhana dan tradisional sekali, air bersantan dan juruh legen di tamping dalam kwali, “irus” atau candingnya berupa batok kelapa dengan bamboo yang biasanya di beri aksesoris siluet wayang dari kayu. Pokoknya semua serba sederhana dan tradisional banget, tapi rasanya jauh lebih mengesankan dari penyajiannya.. (tak seindah warnanya…).
Dalam penyajian dawet, oleh penjual kepada pembeli, ada cara tersendiri dan banyak menjadi bahan ketawa bagi yang pertama kali membeli dawet jabung. Biasanya penjual akan menyajikan dawetnya di sebuah mangkuk yang diletakkan di cawan. Naah.. biasanya pembeli yang belum pernah membeli dawet jabung akan memungut cawan yang di atasnya ada mangkuk dawetnya, padahal lazimnya di Ponorogo dan sekitarnya pembeli cukup mengambil mangkuknya saja tanpa dengan cawannya. Para pembeli pemula sering terjadi tarik menarik cawan dengan penjual dawet. Lho kenapa kok seperti itu? Pertanyaan itu sering ditanyakan banyak orang. Menurut cerita – cerita di masyarakat umum bahwa cawan itu mempunyai arti sendiri bagi penjual dan pembeli dawet.
Terlepas dari arti cawan itu, kiranya lebih bijak dan mengesankan apabila saudara pembaca mencicipi dan merasakan sendiri kenikmatan minum dawet jabung Ponorogo. Memang banyak dawet yang menjadi khas dari beberapa daerah, tetapi kiranya “dawet jabung” yang berasal dari ponorogo mempunyai cita rasa tersendiri dan patut untuk menjadikan tenggorokan ini segar kembali. Selamat menikmati….
Dawet jabung merupakan dawet yang berasal dari salah satu desa di kabupaten Ponorogo, tepatnya desa Jabung, desa yang terletak di antara pondok besar di Jawa Timur yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor dan Pondok Pesantren Walisongo Ngabar. Namun demikian di daerah Ponorogo dan sekitarnya banyak kita jumpai penjual dawet jabung. Kalau anda sedang berada atau melewati kota Ponorogo, sangatlah mudah untuk mencari letak penjual dawet jabung itu.
Dawet merupakan minuman tradisional yang sangat sederhana sekali cara pembuatannya. Satu mangkuk dawet hanya terdiri air yang bersantan, legen (nira) kelapa dan cendol, terkadang masih ditambahi dengan “gempol”. Gempol terbuat dari tepung beras yang dibentuk bulat yang dicampurkan dengan dawet. Peralatan yang digunakan penjual dawet juga sangat sederhana dan tradisional sekali, air bersantan dan juruh legen di tamping dalam kwali, “irus” atau candingnya berupa batok kelapa dengan bamboo yang biasanya di beri aksesoris siluet wayang dari kayu. Pokoknya semua serba sederhana dan tradisional banget, tapi rasanya jauh lebih mengesankan dari penyajiannya.. (tak seindah warnanya…).
Dalam penyajian dawet, oleh penjual kepada pembeli, ada cara tersendiri dan banyak menjadi bahan ketawa bagi yang pertama kali membeli dawet jabung. Biasanya penjual akan menyajikan dawetnya di sebuah mangkuk yang diletakkan di cawan. Naah.. biasanya pembeli yang belum pernah membeli dawet jabung akan memungut cawan yang di atasnya ada mangkuk dawetnya, padahal lazimnya di Ponorogo dan sekitarnya pembeli cukup mengambil mangkuknya saja tanpa dengan cawannya. Para pembeli pemula sering terjadi tarik menarik cawan dengan penjual dawet. Lho kenapa kok seperti itu? Pertanyaan itu sering ditanyakan banyak orang. Menurut cerita – cerita di masyarakat umum bahwa cawan itu mempunyai arti sendiri bagi penjual dan pembeli dawet.
Terlepas dari arti cawan itu, kiranya lebih bijak dan mengesankan apabila saudara pembaca mencicipi dan merasakan sendiri kenikmatan minum dawet jabung Ponorogo. Memang banyak dawet yang menjadi khas dari beberapa daerah, tetapi kiranya “dawet jabung” yang berasal dari ponorogo mempunyai cita rasa tersendiri dan patut untuk menjadikan tenggorokan ini segar kembali. Selamat menikmati….
Selasa, 13 Maret 2012
RENOVER
Nama yang menggunakan bahasa asing ini
mungkin juga asing bagi masyarakat karena istilah itu kurang popular dan tidak
familiar di telinga kita. Maklumlah kata itu memang bukan asli bahasa melayu.
Sebelum saya menulis cas cis cus tentang apa itu renover, ada baiknya pembaca
membuka situs RENOVER. Nah… setelah membuka situs tersebut dan
membacanya, saya yakin pembaca sudah mempunyai gambaran tentang “renover”
secara garis besar dan kegiatan – kegiatannya. Renover berasal dari kata
renovasi yang artinya memperbaiki dan renover adalah orang – orang atau sesuatu
yang melakukan perbaikan. Pada kata “Renover” seperti dalam situs di atas
adalah suatu yayasan yang beranggota para simpatisan terhadap kondisi social, ekonomi
dan lingkungan dimana kegiatan utamanya meliputi 5 (lima) focus Bedah Rumah Miskin
(BERM), Santunan Fakir Miskin Yatim Piatu (SAFAMIYA), Penghijauan Lahan Kritis
(PELK), Ternak Keluarga Miskin (TEKEM) dan Bedah Sekolah Terpencil (BEST).
Lima focus kegiatan itu
yang menjadi agenda utama atau kegiatan utama yang dilakukan. Kebetulan dalam
yayasan itu, saya sebagai sekretaris meskipun (saya akui) kurang begitu aktif
karena jarak antara tempat tinggal saya dengan lokasi (sementara) kegiatan sangat
jauh. Meskipun demikian kami, diantara pengurus Yayasan, tidak putus komunikasi
dan terus melakukan koordinasi, konsultasi dan musyawarah. Selain itu, kawan –
kawan dan saudara – saudara sukarelawan yang sedia setiap saat tanpa mengenal
pamrih selalu siap sedia di lokasi terutama saudara saya, Mas Dwi.Parjoko.
Beliau adalah seorang guru sekolah dasar di desa yang terkenal dengan desa
idiot di kabupaten Ponorogo, sekaligus sebagai pendiri dan motivator di
lapangan. Dalam kesempatan ini saya pribadi menyatakan sangat salut dan mengapresiasi
semua yang sudah dilakukan oleh Dwi Paarjoko dan kawan – kawan.
Bukti nyata!!! Tidak banyak bicara!!! Itu
mungkin yang dapat dikatakan atas ide sederhana yang pelaksanaannya pun juga
santai namun pasti tepat sasaran. Dengan menggandeng tokoh masyarakat setempat
kegiatan demi kegiatan sudah berjalan dengan lancer. Kegiatan renover ini juga
menggugah dan memberi semangat baru kepada masyarakat untuk bangkit menuju
sesuatu yang lebih berkualitas baik pendidikan, ekonomi juga sosialnya.
Sementara ini focus kegiatan dilaksanakan masih di desa Sidoarjo kecamatan
Jambon kabupaten Ponorogo yang sebagian besar masyarakatnya berada di bawah
garis kemiskinan. Selain itu desa tersebut warganya banyak yang mengalami
gangguan fungsi otak, idiot.
Melihat kondisi memprihatinkan itu melecut
kami untuk segera mewujudkan angan – angan atau gagasan yang sudah lama kami
bicarakan. Kami harus segera mengadakan tindakan walaupun sedikit dan kecil!!
Harus melakukan sesuatu kepada mereka yang membutuhkan motivasi, dukungan
moril. Saya sering kali mendengar dalam suatu diskusi kecil di kampus – kampus
mengenai situasi dan kondisi desa idiot yang tahun lalu santer diberitakan oleh
media masa. Gubernur Jawa Timur Pak Dhe Karwo bahkan Menteri Sosial pun harus
meninjau langsung desa itu. Kawan – kawan mahasiswa dan dosen – dosen begitu
semangat membicarakan persoalan dari desa idiot Sidoarjo, kabupaten Ponorogo.
Mereka kebanyakan menggunakan informasi – informasi dari media baik cetak
maupun elektronik. Selain itu juga informasi sepenggal dari orang cerita yang
tidak jelas dari mana asal informasi itu. Namun demikian semangat berdiskusinya
luar biasa. Saya hanya terdiam mendengar diskusi seru nan hangat itu.
Dalam pemikiran saya mestinya cukuplah membahas
suatu persoalan itu simple dan solutif, tidak bertele – tele dan cenderung
menyalahkan pihak sana
pihak sini. Bukan berarti saya tidak menghargai diskusi mereka tetapi apalah
artinya diskusi yang bertele – tele kalau tidak ada implementasinya, tidak ada
action yang kongkret. Hasil diskusi yang teoritis hanya menghasilkan sebuah
umpatan, kritikan mungkin juga fitnah (karena nggak jelas sumber informasinya)
dan juga kata – kata yang manis untuk diucapkan. Hanya indah di warung kopi
atau tempat diskusi itu, setelah itu yaah..Cuma pembicaraan saja. BASI….
Kembali ke uraian pokok, renover ini
hanyalah wadah untuk menyalurkan rasa empati, simpati bagi saudara – saudara
yang menginginkan suatu perubahan dalam masyarakat. Saudara – saudara yang
ingin berbagi dalam segala hal yang mereka miliki. Ada saudara yang memberikan sumbangan
pemikiran, dana, material, support dan sebagainya. Itu semua sudah merupakan
bentuk kepedulian dan partisipasi terhadap saudara – saudara kita yang masih
membutuhkan perhatian khusus dalam beberapa hal kehidupan. Saya teringat dengan
pidato Presiden Soekarno “Sumbangkan segalamu kepada Ibu pertiwi… kalian
mempunyai bunga cempaka berikanlah bunga cempaka kepada Ibu Pertiwi, kalian
mempunyai bunga mawar berikan bunga mawar itu kepada Ibu pertiwi. Sumbangkan….
Sumbangkan… segalamu kepada Ibu Pertiwi.. “
Bulan Juni 2011 merupakan permulaan dalam
melakukan kegiatan Renover ini. Sebagai kegiatan awal adalah bedah rumah dimana
sampai saat ini sudah melakukan bedah rumah sebanyak 13 unit rumah. Masing –
masing rumah mendapat bantuan sebesar Rp. 2.500.000,00 berupa material dan
sebagai tenaga kerja adalah masyarakat sekitar (partisipasi masyarakat). Selain
itu juga, Yayasan Renover sudah melaksanakan kegiatan penyaluran hewan korban,
zakat fitrah dan mal, infaq, shodaqah. Untuk kegiatan Penanganan lahan kritis
juga sudah terlaksana dengan menanam pohon sengon laut di lahan – lahan kosong
dan ada juga yang bersifat kemitraan antara pihak yayasan dengan masyarakat.
Kegiatan Ternak untuk Keluarga Miskin baru saja dimulai awal tahun 2012 kemarin
dan akan mengembangkannya lebih banyak lagi.
Dapat kunjungi GROUP RENOVER
Senin, 12 Maret 2012
Barokah Lintas Alam
Siang itu, ketika saya duduk di bangku
ruang tunggu terminal bis Mojokerto, tak terasa terbayang jelas kejadian 11
(sebelas) tahun lalu. Di terminal itu, kami berlima (Sri Hantarko, Gatot
Sulaeman, Apri Fahrudi, Dwi Parjoko, David dan saya) berjalan tertatih – tatih
menahan rasa capek, ngilu karena baru saja mengikuti lomba lintas alam di
daerah Pohjejer (Mojokerto) sejauh 40 kilometer. Yaa.. Lomba Lintas Alam yang
diadakan oleh Mahisapala Universitas WR Supratman Surabaya yang seingatku
dilaksanakan tahun 1991-an. Waktu itu kami mewakili Palang Merah Remaja (PMR)
Wira Ganesha SMA Negeri 1 Ponorogo, dan saya waktu itu masih duduk di kelas 1.
Berangkat dengan dana pas – pasan, kami
mengikuti lomba tanpa berkurang semangat sedikit pun. Hanya berbekal tekat dan
nekat (bonek… haha) kami tetap menjadi peserta lomba lintas alam. Kami
sebelumnya sama sekali tidak mengenal sedikitpun wilayah Mojokerto, apalagi
Pohjejer yang menjadi tempat lomba. Jiwa muda dan semangat (mungkin) luar biasa
saja yang membawa kami ke daerah itu. POHJEJER. Satu kecamatan di wilayah
kabupaten Mojokerto yang kelak (sekitar tahun 2007 – 2010) menjadi daerah yang
selalu saya kunjungi dan lewati, bahkan saya pernah mendampingi Gabungan
Himpunan Petani Pemakai Air (GHIPPA) yang mencakup wilayah Pohjejer selama
hamper 2 (dua) tahun.
Route dan medan yang lumayan berat kami
susuri, jalan berbelok, naik – turun bukit, menyusuri sungai yang berbatu kami
terjang, sehingga jarak tempuh sepanjang 40 kilometer itu dapat kami selesaikan
dalam waktu 5,5 jam. Waktu tempuh kami untuk menyelesaikan route lomba tergolong
cepat karena rata – rata dalam 1 (satu) jam kami menempuh kurang lebih 8
(delapan) kilometer.
Ada cerita nekat, tapi konyol dan lucu
setelah acara itu. Kira – kira pukul 14.00 acara sudah selesai dan kami akan
pulang ke Ponorogo karena besok pagi sudah masuk sekolah, Apri yang berperan
sebagai bendahara kami mengatakan bahwa dana sisa yang kami punya tinggal
sedikit, dan dia mengusulkan lebih baik jalan kaki menuju terminal bis
Mojokerto. Karena dana mepet kami setuju saja, tetapi kami tidak tahu berapa
jarak dari Pohjejer ke terminal bis. Meskipun capek dan kaki sudah kesemutan,
kami dengan tertaih tetap jalan kaki. Kami adalah manusia yang mempunyai tenaga
terbatas. Setelah berjalan kira – kira 3 (tiga) kilometer, kami semua menyerah
dan akhirnya naik angkot sampai terminal Mojokerto. Kami terperanjat ketika Pak
Sopir angkot itu mengatakan bahwa jarak Pohjejer – terminal bis adalah 25
kilometer. Spontan kami tertawa dan menyalahkan Apri yang punya ide… haha
Setelah sampai di terminal kami langsung
melaksanakan sholat ashar. Sewaktu melaksanakan sholat itulah kami benar –
benar merasakan kesemutan, pegal – pegal yang luar biasa pada bagian kaki kami
sehingga dalam gerakan sholat kami merasakan sakit. Ehmmmm… capeknya bukan
main. Seharian kami belum makan nasi, hanya terisi ketela pohon (manihot
utilisima) yang sempat kami makan sewaktu dalam perjalanan lomba. Apri yang
selalu mengecek kondisi keuangan memberitahukan bahwa kami bisa makan tetapi
yang harganya murah, seperti nasi bungkus. Kami melihat satu persatu menu yang
tertera di masing – masing stand warung dalam terminal, dan akhirnya kami
menemukan warung yang menjual NASI PECEL. Wooow tanpa pikir panjang kami
langsung masuk warung itu dan memesannya. Kami semua beranggapan bahwa nasi
pecel tentu harganya murah seperti di Ponorogo.
Suatu kebetulan dan barokah dari Allah,
ketika kami memesan nasi pecel (berlauk kerupuk) tiba – tiba Ibuk penjual nasi
pecel dan anaknya terkejut dan memanggil salah satu teman kami. “Mas Koko….
Teka ndi Mas?”. Koko adalah nama panggilan Sri Hantarko, senior kami yang
mendampingi kami. Spontan saja suasana menjadi berubah. Ibu penjual nasi itu
langsung menambah telur dadar di piring kami satu – satu. Kami semua senang dan
bersyukur kepada Allah yang telah member kami rizqi yang tak kami duga sama
sekali. Sambil makan kami berbincang – bincang dengan Ibu penjual nasi dan
keluarga yang kebetulan berada di warung. Ibu itu ternyata tetangga Mas Koko di
Ponorogo. Ehmm berkali – kali kami mengucap syukur. Sampai akhirnya kami harus
berpamitan dan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibu dan
keluarganya. Ketika berpamitan, Ibu itu member kami minuman botol (aqua) dan
beberapa lembar uang (sangu). Kami merasa tidak enak, tetapi mau bagaimana lagi
mereka memaksa… (mungkin tahu kalau kami kaum musafir yang dhuafa’ kwkwkw).
Kebahagiaan dan kesenangan kami semakin
bertambah, karena kenikmatan tidur dari terminal Mojokerto sampai terminal
Ponorogo juga kami dapatkan. Kami tersadar setelah kondektur bis membangunkan
kami karena bis sudah standby di terminal selama 30 menit. Nikmat dan barokah
yang luar biasa….. kenangan yang tak kan kami lupakan. Saya menyadari, hanya kesabaran,
doa dan keikhlasan yang bisa membuat itu semua…. Alhamdulillah, dan tak terasa
orang yang saya tunggu sejak tadi sudah duduk di sampingku tidak tahu kapan dia
datang karena terlalu asyik dengan bayangan kenangan 11 (sebelas) tahun lalu…..
Selasa, 06 Maret 2012
Ngelmu Iku.....
Jarum jam sudah mendekati waktu tengah malam, mapir pukul 24.00 WIB. Suasana rumah sunyi senyap karena semua isi rumah sudah terlelap tidur sejak pukul 21.00 tadi. Hanya saya yang sampai larut malam, bahkan mau berganti hari, mata ini belum terpejam. Sesekali aku mendengar kokok ayam jantan, lolongan anjing dan suara binatang malam lainnya. Sebenarnya mata saya sudah lumayan lelah karena selama kurang lebih 2 jam membaca buku History of Java karangan Thomas Stamford Raffles. Beberapa hari ini saya mengulang membaca buku tebal itu. Lembar demi lembar saya membacanya secara pelan dan teliti, karena saya cukup tertarik sekali dengan isi buku yang garis besarnya menceritakan kondisi masyarakat Jawa pada masa lalu.
Setelah lelah membaca, saya mencoba merebahkan tubuh untuk istirahat. Tampaknya mata ini belum juga mau terpejam. Ingatan tentang berbagai peristiwa ataupun khayalan silih berganti seperti slide terpampang di depan mata secara silih berganti. Dalam slide sebelum tidur itu tiba – tiba saya seakan mendengar atau teringat dengan tembang “pocung” yang menekankan perlunya menuntut ilmu. Dengan seksama saya mengikuti dan mencoba mendalami slide petuah dalam bentuk tembang itu. Tembang yang terdiri dari 4 (empat) baris itu seakan menghipnotis untuk mengenang masa kecil ketika orang tua saya sering menembangkan tembang pocung itu.
Ngelmu iku, kelakone kanthi laku
Lekase lawan kas,
wekase kas nyantosani
Setya budya pangekesing dur angkara
Demikian tembang pocung yang tercatat dalam buku Wedhatama karya KGPAA Mangkunegara IV Raja Mangkunegaran. Karya yang sangat mendalam maknanya, tinggal bagaimana orang membaca, mendengar, menyimak, melihat, memahami, menganalisanya. Setiap pemahaman dan pemaknaan akan memberikan makna yang berlainan bahasa tetapi masih dalam pengertian yang sama apabila ditarik garis besarnya. Petuah yang singkat, padat dan mengesankan, apalagi dalam penyampaiannya disertai dengan menembangkan cengkok tembang pocung.
Tembang di atas apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut, “ Sebuah Ilmu itu dalam penempuhannya memerlukan pengorbanan, diawali dengan niat yang kuat dan dengan ilmu itu manusia mempunyai kemampuan untuk memahami budaya yang nantinya dapat berguna untuk mengikis atau menghilangkan keangkara murkaan”. Demikian terjemahan kasar dari tembang gubahan Sang Pujangga sekaligus Raja Mangkunegaran itu.
Tak terasa mulut ini menggumamkan tembang pocung itu meskipun dalam kondisi 40 watt, suatu kondisi antara sadar dan tidak. Dalam kondisi itu, saya mencoba jauh berlayar menuju pemaknaan kata demi kata, kalimat demi kalimat. Saya sangat sadar bahwa menempuh, mencari imu itu penuh dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Pengorbanan dan semangat itu nantinya akan membuahkan hasil yang mana manusia tidak akan bisa melampaui dari manfaat ilmu itu. Para pendiri Pondok Moderen Darussalam Gontor Ponorogo memberikan petuah bahwa dalam segala hal itu mengorbankan "BANDA, BAHU, PIKIR LEK PERLU SAK NYAWANE" (Harta, tenaga, pikiran dan kalau perlu sekalian dengan nyawanya). Demikian petuah hebat yang ditularkan kepada antri - santrinya juga kepada siapa saja. Sungguh berat pengorbanan dan penempuhan dalam mencari ilmu itu. Dengan diawali niat yang kuat, semangat yang menyala perjalanan mencari dan memahami ilmu itu akan berakhir dengan barokah.
Semakin tinggi ilmu yang dimiliki seseorng, seharusnya ya sarjanan sujananing budhi. Orang yang terpelihar karena ilmunya, bukan malah dengan ilmunya seseorang justru akan membuat kerugian bahkan kehancuran diri dan masyarakat. Kesetiaan terhadap budaya (semua sisi - sisi kehidupan) akan semakin kuat sehingga ilmu itu akan membuat orang berfikir lebih rasional dan dapat meminimalisir kejiwaannya (setya budya pengekesing dur angkara). Ilmu tidak bisa dicuri dan ilmu tidak akan lari.....
Pengembaraan saya sebelum tidur ternyata berakhir dengan tertutupnya mata dan masuk ke alam tidur....
Selamat mencari ilmu sampai kapanpun.....
Setelah lelah membaca, saya mencoba merebahkan tubuh untuk istirahat. Tampaknya mata ini belum juga mau terpejam. Ingatan tentang berbagai peristiwa ataupun khayalan silih berganti seperti slide terpampang di depan mata secara silih berganti. Dalam slide sebelum tidur itu tiba – tiba saya seakan mendengar atau teringat dengan tembang “pocung” yang menekankan perlunya menuntut ilmu. Dengan seksama saya mengikuti dan mencoba mendalami slide petuah dalam bentuk tembang itu. Tembang yang terdiri dari 4 (empat) baris itu seakan menghipnotis untuk mengenang masa kecil ketika orang tua saya sering menembangkan tembang pocung itu.
Ngelmu iku, kelakone kanthi laku
Lekase lawan kas,
wekase kas nyantosani
Setya budya pangekesing dur angkara
Demikian tembang pocung yang tercatat dalam buku Wedhatama karya KGPAA Mangkunegara IV Raja Mangkunegaran. Karya yang sangat mendalam maknanya, tinggal bagaimana orang membaca, mendengar, menyimak, melihat, memahami, menganalisanya. Setiap pemahaman dan pemaknaan akan memberikan makna yang berlainan bahasa tetapi masih dalam pengertian yang sama apabila ditarik garis besarnya. Petuah yang singkat, padat dan mengesankan, apalagi dalam penyampaiannya disertai dengan menembangkan cengkok tembang pocung.
Tembang di atas apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut, “ Sebuah Ilmu itu dalam penempuhannya memerlukan pengorbanan, diawali dengan niat yang kuat dan dengan ilmu itu manusia mempunyai kemampuan untuk memahami budaya yang nantinya dapat berguna untuk mengikis atau menghilangkan keangkara murkaan”. Demikian terjemahan kasar dari tembang gubahan Sang Pujangga sekaligus Raja Mangkunegaran itu.
Tak terasa mulut ini menggumamkan tembang pocung itu meskipun dalam kondisi 40 watt, suatu kondisi antara sadar dan tidak. Dalam kondisi itu, saya mencoba jauh berlayar menuju pemaknaan kata demi kata, kalimat demi kalimat. Saya sangat sadar bahwa menempuh, mencari imu itu penuh dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Pengorbanan dan semangat itu nantinya akan membuahkan hasil yang mana manusia tidak akan bisa melampaui dari manfaat ilmu itu. Para pendiri Pondok Moderen Darussalam Gontor Ponorogo memberikan petuah bahwa dalam segala hal itu mengorbankan "BANDA, BAHU, PIKIR LEK PERLU SAK NYAWANE" (Harta, tenaga, pikiran dan kalau perlu sekalian dengan nyawanya). Demikian petuah hebat yang ditularkan kepada antri - santrinya juga kepada siapa saja. Sungguh berat pengorbanan dan penempuhan dalam mencari ilmu itu. Dengan diawali niat yang kuat, semangat yang menyala perjalanan mencari dan memahami ilmu itu akan berakhir dengan barokah.
Semakin tinggi ilmu yang dimiliki seseorng, seharusnya ya sarjanan sujananing budhi. Orang yang terpelihar karena ilmunya, bukan malah dengan ilmunya seseorang justru akan membuat kerugian bahkan kehancuran diri dan masyarakat. Kesetiaan terhadap budaya (semua sisi - sisi kehidupan) akan semakin kuat sehingga ilmu itu akan membuat orang berfikir lebih rasional dan dapat meminimalisir kejiwaannya (setya budya pengekesing dur angkara). Ilmu tidak bisa dicuri dan ilmu tidak akan lari.....
Pengembaraan saya sebelum tidur ternyata berakhir dengan tertutupnya mata dan masuk ke alam tidur....
Selamat mencari ilmu sampai kapanpun.....
Sabtu, 03 Maret 2012
Integrasi Kelembagaan Petani
Seperti kita ketahui bersama, begitu
banyak kelembagaan yang berkaitan dengan petani. Kita mengenal Kelompok Tani
(poktan), Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA), Asosiasi Petani Tebu Rakyat
(APTR), Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), Asosiasi Petani Hortikultura,
Koperasi Unit Desa (KUD) dan masih banyak lagi kelembagaan petani yang berada
di masyarakat. Masing – masing kelembagaan petani itu setiap desa di seluruh
pelosok tanah air dapat dipastikan ada. Padahal petani dalam suatu desa tetap
sementara kelembagaan petani begitu banyak, sehingga seorang petani kemungkinan
juga menjadi beberapa lembaga. Misalnya, Pak A adalah anggota kelompok tani,
selain itu juga menjadi anggota KTNA, P3A, APTR dan APTI (asosiasi petani
tembakau Indonesia). Nah, demikian kondisi yang masyarakat petani kita dan
biasanya kelembagaan – kelembagaan itu sering dijadikan kendaraan politik oknum
tertentu.
Dalam
rangka Ketahanan Pangan Nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani
perlu dilakukan pengembangan dan pembinaan
pemberdayaan kelembagaan petani agar dapat meningkatkan kemandirian,
produktivitas usahatani, produksi pertanian, dan kesejahteraan masyarakat
secara dinamis; yang diwujudkan melalui pengelolaan air irigasi dan lahan, yang
berkelanjutan. Kelembagaan petani ini diharapkan berkembang menjadi kelembagaan
petani yang mandiri dengan multi-fungsi sehingga mampu mendinamisasi ekonomi
pedesaan, meningkatkan kesempatan berusaha, kesempatan kerja di pedesaan, meningkatkan
nilai tambah, serta kesejahteraan masyarakat pedesaan.
Pemerintah
dalam kerangka reformasi pengelolaan sumberdaya lahan dan air secara terpadu,
telah mengeluarkan berbagai perangkat hukum seperti: Undang-Undang Nomor 7
tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 ditindak lanjuti dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi dan Undang-Undang
Nomor 32 ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dengan pemerintahan
daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, dan Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Dalam
kerangka pengelolaan sumberdaya lahan dan air irigasi secara terpadu ini
pemerintah juga telah membentuk Unit Kerja Eselon I Direktoral Jenderal
Pengeloaan Lahan dan Air di Departemen Pertanian yang menangani pengelolaan
sumber daya lahan dan air irigasi secara terintegrasi, guna keberlanjutan
pembangunan pertanian dan pedesaan.
Ketersediaan
sumber daya air dan sumber daya lahan semakin terbatas sedangkan permintaan
semakin meningkat, kondisi ini menyebabkan terjadinya berbagai konflik dalam
pemanfa’atan sumber daya lahan dan air masa depan. Pengendalian konflik ini
memerlukan peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan kelembagaanya, untuk
mampu mengendalikan konflik dan mengelola sumberdaya air berkelanjutan
berkeadilan.
Sehubungan
dengan hal tersebut di atas diperlukan dukungan sumber daya manusia berkualitas
melalui pemberdayaan petani dan kelembagaan petani. Pembinaan dan pengembangan kelembagaan petani
diarahkan pada penerapan keterpaduan sistem irigasi dan agribisnis, peningkatan
peran serta petani dan anggota masyarakat pedesaan lainnya, dengan menumbuh
kembangkan kerja sama antar petani dan pihak lainnya yang terkait untuk
mengembangkan pengelolaan sumberdaya lahan dan air melalui pemberdayaan petani
dan kelembagaannya. Selain itu pembinaan kelembagaan petani diharapkan dapat
membantu menggali potensi, mengatasi konflik pemanfa’atan sumber daya air,
memecahkan masalah usahatani anggotanya secara lebih efektif, dan memudahkan
dalam mengakses informasi, pasar, teknologi, permodalan dan sumber daya
lainnya.
Dalam rangka pembinaan dan pengembangan kelembagaan
petani tersebut telah diterbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 33/PRT/M/2007 tentang Pedoman Pemberdayaan
P3A/GP3A/IP3A dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 273/Kpts/OT.160/4/2007
tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani. Keberadaan kelembagaan
P3A/GP3A/IP3A dan Kelompoktani POKTAN/GAPOKTAN di lapangan cukup menyulitkan
dalam pembinaannya, karena pada dasarnya kedua lembaga tersebut mempunyai tugas
dan fungsi yang serupa dan bersifat multi fungsi. Karakteristik dari kedua
kelembagaan ini agak berbeda karena latar belakang dan filosofi awal dari
dibentuknya kelembagaan ini memang berbeda, namun dalam perkembangan
selanjutnya fungsinya menjadi serupa, disamping anggotanya umumnya sama.
Untuk itu diperlukan kebijakan pembinaan dan pengembangan
pemberdayaan kelembagaan petani pada lahan pertanian beririgasi guna
mensinergikan dan menyatukan berbagai kelembagaan petani tersebut. Kebijakan
ini perlu dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan bagi
petani, dan agar kelembagaan petani dapat berpartisipasi aktif dalam program
pembangunan pedesaan.
Guna mencapai sasaran yang diinginkan tersebut maka untuk
tahap awal uji coba sinkronisasi berbagai kelembagaan petani terutama
Kelompok Tani dan Perkumpulan Petani Pemakai Air.
Pengembangan
dan Pembinaan pemberdayaan kelembagaan petani dimaksudkan sebagai upaya
peningkatan profesionalitas sumberdaya manusia pertanian, dengan tujuan untuk
mampu berpartisipasi aktif melaksanakan program pembangunan pertanian dan
pedesaan serta mengelola sumberdaya lahan, sumberdaya air dan layanan irigasi
yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan demikian akan dapat diwujudkan
pemantapan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah dan daya saing produk
pertanian serta meningkatkan kesejahteraan petani dengan tetap menjaga
kelestarian sumberdaya lahan dan air secara berkelanjutan.
Kelembagaan
petani berfungsi sebagai penyedia layanan berbagai kebutuhan petani dalam
mengembangkan system usahatani dan agribisinis secara dinamis dan layanan
pengelolaan sumber daya air, prasarana irigasi yang menjadi tanggung jawabnya. Kelembagaan
petani ini berorientasi ekonomi dan sosial untuk kemandirian melalui
pengembangan system usahatani dan agribisinis, serta secara bersama menjaga
kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Di Propinsi Jawa
Timur, uji coba penggabungan kelompok tani dan P3A dilaksanakan di desa Panduman
kecamatan Jelbuk kabupaten Jember. Penggabungan itu difasilitasi oleh Bappeda,
Dinas Pertanian, Dinas PU Pengairan dan Konsultan Water Resources and
Irrigation Sector Management Project (WISMP) sejak bulan Agustus 2009 lalu. Lembaga
baru yang dibentuk bernama Lembaga Ekonomi Pertanian Lahan Beririgasi (LEPLI). Selama
2,5 tahun berlangsung, masyarakat dapat merasakan efektifitas lembaga baru itu
dan dapat membuat semua lembaga petani menjadi satu atap atau satu pintu secara
terpadu. Evaluasi terhadap efektifitas lembaga dan dampaknya bagi petani sudah
dilaksanakan, tinggal menunggu hasil akhir dari Departemen Pertanian. Semoga kebijakan
yang menyangkut kelembagaan petani lebih tepat dan efisien guna meningkatkan
kesejahteraan petani dan ketahanan pangan nasional serta mengurangi atau
menghilangkan permainan – permainan politik (politisasi) yang mengatasnamakan
PETANI.
Langganan:
Postingan (Atom)