Selasa, 28 Februari 2012

Cakrukan di Warung Brawijaya Kediri

Masyarakat Kediri bahkan masyarakat pecinta sepak bola tentu tidak asing lagi dengan nama Stadion Brawijaya Kediri. Stadion yang berdiri kokoh di sisi timur laut kota Kediri itu banyak menyimpan kenangan bagi pecinta sepak bola khususnya masyarakat Kediri dengan Persik-nya. Stadion satu – satunya yang menjadi kebanggan masyarakat Kediri. Seringkali event – event local dan nasional sepakbola diselenggarakan di stadion ini. Dalam tulisan ini, saya tidak membahas tentang stadion ataupun persepakbolaan yang beritanya selalu hangat setiap hari, tetapi saya akan memotret warung – warung pedagang kaki lima di sebelah utara stadion. Warung sederhana yang selalu ramai dan menjadi tempat favorit untuk “cangkruk” bagi masyarakat terutama kawan – kawan sales distributor, marketing, debt collector, pedagang, mac leren (makelar) dan lainnya.

Sebenarnya jumlah warung yang berada di utara stadion Brawijaya itu tidaklah banyak, hanya 8 warung yang terdiri 1 warung soto daging dan lainnya 7 warung kopi plus makan yang berjajar memanjang ke belakang (ke barat). Warungnya sangat sederhana yang terbuat dari tenda – tenda terpal, bahkan ada 2 warung yang berada di bawah stadion. Sejak pagi sekitar pukul 07.00 warung – warung itu sudah mulai ramai orang untuk sarapan dan hanya sekedar “ngopi”. Makan minum dengan harga yang lumayan murah dan rasanya cukup sedap. Suasana nyaman dan damai dapat kita sasksikan dari masing – masing pengunjung. Mereka ada yang minum kopi sambil membaca Koran, ngobrol – ngobrol, menelepon klien, berdiskusi serius. Tampak sekali mereka menikmati suasana yang teduh dan asri di bawah pohon trembesi yang besar sambil melakukan aktifitas sebelum terjun ke lapang. Mereka menganggap warung tersebut sebagai kantor kedua bahkan kantor pertama sebelum masuk ke kantor utamanya (hehehe).

Secangkir kopi dan sebatang rokok terkadang cukup untuk memberikan semangat yang luar biasa bagi mereka, apalagi kumpul bareng dengan kawan – kawan yang berbeda tempat kerjanya. Mereka saling tukar informasi, strategi dan berbagi cerita dengan kawan yang beda bidang kerja sehingga dapat menambah wawasan atau jaringan.  Suara gelak tawa lepas tidak jarang kita dengar, terasa beban pekerjaan yang sering membelenggunya lepas. Suasana stress menjadi santai dan bersahabat. Pohon – pohon trembesi besar yang menaungi warung – warung itu menambah kedamaian dan betah para “cangkruker” setiap harinya.

Apabila ada sedang berada di kota Kediri silahkan kunjungi warung – warung itu, dan kiranya sangat menyesal kalau tidak menikmati secangkir kopi di bawah pohon yang rindang di utara stadion Brawijaya.

Senin, 27 Februari 2012

Kereta Ekonomi Sekarang Lebih Nyaman



Perjalanan naik kereta api dari Jember menuju kota santri Jombang pagi ini cukup santai dan terasa nyaman. Demikian pula perjalanan dua hari kemarin saat perjalanan dari Jombang menuju kota suwar suwir Jember dimana selain nyaman dalam perjalanan juga waktunya sangat tepat (baca juga di Tepat waktu bersama KA Sri Tanjung). Hari ini juga demikian. Kereta berangkat dari stasiun Jember pukul 09.10 WIB tepat sesuai jadwal dan tiba di stasiun Jombang pukul 14.45 WIB agak molor 10 menit dari jadwal. Meskipun kereta ekonomi, sekarang penumpang sangat bisa menikmati perjalanan dengan santai, nyaman dan aman. 

Berbeda dengan perjalanan kereta api sebelum bulan September 2011 tahun lalu, karena ada peraturan baru yang terkait dengan pengelolaan stasiun dan penumpang juga pedagang asongan. Peraturan itu berlaku efektif tanggal 1 September 2011. Peraturan yang saya ketahui dan rasakan langsung adalah tentang tata cara pembelian tiket, larangan pengantar memasuki area dalam stasiun dan larangan pedagang asongan berjualan di dalam kereta. Entah peraturan lain yang bersamaan dengan peraturan itu.

Dalam hal tiket penumpang, ada perubahan signifikan yang dampaknya langsung dapat dinikmati oleh penumpang kereta api kelas ekonomi. Cara pembelian tiket sangat berbeda dengan sebelumnya. Kalau dulu sebelum peraturan itu terbit, penumpang dapat membeli tiket menjelang atau pada hari itu juga tetapi sekarang penumpang dapat memesan tiket seminggu sebelumnya. Selain itu pada tiket tercantum nomer gerbong dan tempat duduk penumpang. Dampak dari pengaturan terkait tiket ini terlihat sekali pada antrian loket pembelian tiket menjadi tidak terlalu memanjang, calon penumpang tidak berjubel ketika akan memasuki gerbong kereta, tidak ada lagi orang berebut tempat duduk dan tidak ada lagi penumpang yang berdiri di dalam kereta. Coba kita bandingkan dengan kondisi sebelumnya, antrian panjang biasa kita jumpai di depan loket pembelian tiket malah terkadang sampai puluhan meter, calon penumpang berlarian ketika kereta datang dan berjubel memasuki gerbong sehingga sangat membahayakan keselamatan penumpang, seringkali kali kita jumpai orang yang berebut tempat duduk dan penumpang duduk di lantai gerbong bahkan sampai tidurpun di bawah kursi. Keadaan itu sudah tidak kita jumpai lagi, kalaupun ada itu mungkin sedikit dan oknum saja.
 Suasana di dalam gerbong kereta yang cukup teratur dan nyaman...... asyiik deh...

Sekarang kondisi di dalam stasiun terlihat sepi dan ramai hanya menjelang kereta tiba karena calon penumpang diperbolehkan masuk ke ruang tunggu dalam stasiun 1 (satu) jam sebelum kereta tiba. Selain itu para pengantar dilarang untuk memasuki areal dalam stasiun. Stasiun Gubeng dan Wonokromo Surabaya yang biasanya ramai saja terlihat sepi. Dengan peraturan baru ini, keamanan dan kenyamanan calon penumpang kereta bisa terjaga. Peraturan ini bisa mengurangi kriminalitas yang kerap terjadi pada calon penumpang, seperti pencopetan, penodongan, pelecehan seksual dan sebagainya. Petugas keamanan dapat memantau keadaan dengan mudah.

Peraturan baru yang masih atau perlu pertimbangan lebih mendalam adalah larangan pedagang asongan berjualan di dalam kereta. Para pedagang asongan sampai sekarang masih ramai berjualan di dalam kereta, juga para pengamen. Peraturan ini mendapat reaksi keras dari para pedagang asongan kereta api di Medan, Sumatra Utara, beberapa bulan lalu. Memang bertahun – tahun bahkan sampai anak cucu mereka mengais rejeki dari berdagang di dalam kereta. Pihak PT. Kereta Api Indonesia tidak bisa begitu saja melarang atau mengusir mereka, perlu ada pendekatan yang komprehensif dan cerdas untuk mengatasi masalah pedagang asongan ini. Hubungan saling menguntungkan terjadi antara pedagang dengan penumpang, karena di sini terjadi transaksi yang tentunya menguntungkan pedagang kecil. Penumpang juga diuntungkan dengan terpenuhi kebutuhannya. Para pedagang asongan ini hanyalah masyarakat golongan bawah yang hanya mempunyai lahan dan alternative berdagang di kereta, lain itu tidak. Meskipun terkadang atau bahkan sering, banyak penumpang yang merasa terganggu dengan ulah atau kebisingan pedagang asongan tetapi kebanyakan para penumpang tidak menolak secara keras. Kiranya saya berpendapat bahwa mereka jangan dilarang berdagang di dalam kereta tetapi perlu adanya pengaturan, pembinaan para pedagang. Seburuk apapun, para pedagang itu adalah bagian masyarakat kita yang perlu mendapat perhatian khusus apalagi dalam kondisi bangsa seperti ini, selain itu mereka juga dapat mengurangi angka kemiskinan yang semakin meningkat.

Selain itu yang perlu mendapat perhatian dan sorotan adalah para pengamen jalanan yang ada dalam kereta. Seringkali penumpang tidak merasa nyaman dengan kehadirannya. Banyak yang memaksakan penumpang untuk memberi sekedar receh kepada mereka. Petugas kereta api harus bijak dan tegas dalam menangani para pengamen tersebut daripada menangani para pedagang asongan. Semua itu untuk kenyamanan para penumpang dan kemakmuran para pedagang asongan sebagai rakyat kecil. Terima kasih PT. KAI yang telah membuat terobosan yang dapat member rasa aman, nyaman dan kepuasan kepada masyarakat pengguna kereta api ekonomi yang kebanyakan penumpangnya adalah kelas bawah.

Minggu, 26 Februari 2012

Mitos Kesenian Reog Berdasar Etimologi Kata

Kesenian reog mempunyai banyak mitos, legenda, sejarah atau foklor yang berkembang dalam masyarakat maupun literatur. Banyak versi ini ternyata dapat memperkaya khasanah cerita, legenda, mitos tentang kesenian reog, dan akan menambah pula kemesteriusan kesenian reog. Seiring dengan banyaknya penelitian tentang kesenian reog, akan berkembang dan makin mendalam pengetahuan kita tentang seluk beluk reog. Para peneliti baik yang dari dalam maupun luar negeri nampaknya semakin tertarik meneliti semakin dalam dari berbagai sudut pandang, seperti peneliti Ian Douglas Wilson meneliti tentang aspek spiritual hubungan warok dan gemblak, Jotsco Petcovic meneliti kesenian reog secara umum, Dede Oetomo meneliti Reog dan homosexual, Prof. Ayu Soetarto meneliti hubungan warok dan kesenian dan masih banyak lagi hasil penelitian yang terkait dengan reog.

Tulisan ini akan menuturkan mitos kesenian reog yang diambil dari sudut pandang Etimologi Kata R-E-O-G atau R-E-Y-O-G. Cerita asal mula reog pada versi ini dihubungkan dengan kata - kata dan pemenggalan serta penggabungan asal katanya. Penulisan kata Reog juga dapat sebagai Reyog pada dasarnya merupakan perkembangan dari kata dan pengucapan kata itu sendiri.

Menurut Ensiklopedi nasional Indonesia, kata Reog berasal dari kata rog, rog sama artinya dengan reg, reg atau reg sama artinya dengan yog. Rog bisa menjadi erog, herog, erog - erog asem. Sedangkan Reg dapat menjadi horeg atau reg - regan. Sementara itu kata Yog menjadi hoyog, eyog dan selanjutnya. Pada dasarnya semua kata - kata tersebut mengandung arti bergerak atau diguncang atau bergoncang - dinamis. Melihat dari asal kata reog di atas diuga bahwa kesenian Reog muncul ketika keadaan Wengker atau Ponorogo dalam keadaan kacau atau terjadi konflik yang panjang, mungkin sekali kesenian reog sengaja diciptakan untuk mengatasi situasi tersebut (sering dijumpai untuk memperingati peristiwa besar diciptakan suatu karya untuk menandai terjadinya peristiwa tersebut).

Versi mitos kesenian reog dilihat dari sudut pandang Etimologi kata sangat sedikit pemaparannya terkait dengan literatur yang mendukung juga belum banyak, sehingga memungkinkan pengembangan penelitian lebih lanjut. terlepas masalah mitos atau sejarah itu benar, salah, tepat atau tidak tergantung dari analisa dan penafsiran masing - masing pembaca...

Dapat juga di baca di REOG DANCER

Sabtu, 25 Februari 2012

Tepat Waktu Bersama KA Sri Tanjung


Baru kali ini saya dan orang - orang yang pada hari kebetulan naik kereta api ekonomi Sri Tanjung merasakan kepuasan terkait ketepatan waktu berangkat (departure time) dan tiba (arrival time). Kereta ekonomi jurusan Yogyakarta - Banyuwangi itu, menurut jadwal, tiba di stasiun Jombang pukul 12.15 WIB dan berangkat pukul 12.22 WIB. Pukul 12.10 WIB petugas stasiun memberitahukan bahwa kereta Sri Tanjung akan tiba dan penumpang diharapkan bersiap - siap. Saya spontan berkomentar "Kok tumben tepat waktu" karena saya sudah menunggu di stasiun Jombang sekitar 30 menit. Setelah 6 jam lebih menempuh perjalanan, saya turun di stasiun Jember. Saya lihat jam di dinding stasiun, jarumnya menunjuk pukul 18.10. Waah... tepat banget, sesuai dengan jadwal tiba kereta. Saat itu juga  saya ingat lagu "Kereta Tiba Pukul Berapa"nya Bang Iwan Fals :
 ..................................
Sampai stasiun kereta, Pukul setengah dua
Duduk aku menunggu, Tanya loket dan penjaga
Kereta tiba pukul berapa, Biasanya...kereta terlambat
Dua jam mungkin biasa, Dua jam cerita lama

Waaah...harapan Bang Iwan dan masyarakat pengguna jasa kereta api puluhan tahun lalu baru terwujud walo cuma satu kereta ekonomi hari ini. Saya berfikir, andaikan kereta api di Indonesia terutama di Jabodetabek seperti kereta Sri Tanjung hari ini... ehmm tentu tidak ada lagi kemacetan, orang naik di atas gerbong dan seterusnya.

Langkah PT. KAI menertibkan penumpang kereta ekonomi dengan mengatur nomer gerbong dan tempat duduk, melarang pengantar masuk area dalam stasiun, melarang penjual asongan berjualan dalam kereta (tetapi mendapat protes) cukup memberikan dampak yang bagus bagi kenyamanan penumpang. Semoga dari yang kecil ini dapat membawa dampak yang lebih besar bagi perbaikan pelayanan kereta api Indonesia.

Jumat, 24 Februari 2012

Sebuah Pesta Rakyat di Jember Selatan

 Gemuruh suara gamelan Reog mengiringi tarian Dhadhak merak ( Merak Tarung )terus bertalu. Suara gendang yang menyentak, Gong ( Kempul ) terus menderu, lengkingan terompet seakan tidak mengenal hari semakin petang, sang penari-pun juga seakan tidak mengenal lelah. Penari barong terus mengipaskan bulu - bulu merak dengan berbagai gaya (gaya merebah, kayang, lompat dsb) sambil sesekali menunjukkan gemulai tubuhnya di depan para penari Jathil yang terkadang menggoda Dhadhak merak. Tak ketinggalan penari Bujang Ganong yang lincang terus beratraksi lompat, salto diantara penari. Suasana itu semakin semarak, ketika semua penonton merangsek mendekat ke arena pertunjukan. Suasana yang terasa familiar antara penari dan penonton, seakan ada komunikasi yang saling dukung satu sama lain. Penari dengan enjoy menarikan peran masing - masing dan penonton dengan spontan menyemangati para penari. Semarak pertunjukan tersebut tidak terlepas dari para Penggamel dan Pendukung Acara tahunan tersebut.

Gambaran suasana semarak di atas memang sebuah acara yang sengaja diadakan oleh sebuah Paguyuban di desa Pontang, kecamatan Ambulu, kabupaten Jember. Desa kecil dengan mayoritas masyarakatnya petani. Acara tersebut merupakan acara tahunan yang dihelat di desa Pontang dengan biaya yang ditanggung paguyuban sendiri dan diadakan dengan tujuan untuk mengadakan silaturahmi diantara seluruh paguyuban seni reog di wilayah Jember dan sekitarnya. Sebuah Pesta Rakyat "kecil - kecilan" (menurut masyarakat setempat) digelar dengan sederhana namun makna dari acara tersebut yang patut untuk diilhami, diapresiasi dan "ditiru". Tujuan utama diadakan pesta rakyat adalah ajang "Silaturahmi" antar paguyuban reog khususnya dan seniman umumnya.
Pagelaran Pesta Rakyat ini dimulai dengan acara pokoknya, pagelaran Reog dengan format festival dan dilanjutkan obyogan yang pada kesempatan itu biasanya mengundang beberapa seniman reog dari Ponorogo. Acara inti dimulai pukul 10.00 dan berakhir ketika matahari terbenam. Malam harinya, pesta rakyat diisi dengan acara wayang kulit dan campur sari.

Pertunjukan yang sederhana namun mengesankan itu, menunjukkan kepada kita geliat masyarakat desa yang sangat mencintai seni tradisinya dan masih menjunjung tinggi rasa persaudaraan diantara sesama seniman khususnya dan masyarakat pada umumnya. Masyarakat Pontang, khususnya Paguyuban Seni Reog Singo Muncul masih memegang teguh petuah dari sesepuh mereka "Mbah Panut (Alm)" yang menekankan pentingnya rasa persaudaraan, rasa solidaritas, kemandirian, rasa handarbeni dengan seni tradisi. Mbah Panut dalam mendirikan paguyuban seni reog tersebut mempunyai falsafah yang menjadi dasar paguyuban bahwa dalam suatu paguyuban yang terpenting adalah berkumpulnya orang - orang (interaksi aktif masyarakat) yang saling toleransi, menghargai dan membantu satu sama lain.

Pesta rakyat yang benar - benar beangkat dari dan muncul dari masyarakat bawah tanpa adanya intervensi atau bantuan pihak lain termasuk pemerintah. Perayaan yang pantas dikatakan meriah dan berkesan bagi penonton, tamu dan siapa saja yang hadir dalam acara itu dari awal hingga akhir. Perayaan yang memilih bulan Muharam ( Suro ) untuk pelaksanaannya karena bulan tersebut sangat identik dengan suasana mistis masyarakat Jawa pada umumnya. Paguyuban Seni Reog Singo Muncul, salah satu paguyuban reog di kota yang cukup jauh dari pusat kesenian reog (Ponorogo) yang masih eksis mengadakan pertunjukan kesenian reog sebagai perwujudan kecintaan dan kebanggan terhadap rasa persaudaraan, seni budaya asli nusantara (Ponorogo).



dapat dibaca juga di www.reogdancer.blogspot.com 

Kamis, 23 Februari 2012

Mitos Burung Merak dan Harimau

Mendengar kata kesenian Reog Ponorogo tentulah gambaran di benak kita adalah burung Merak yang nangkring di atas kepala Harimau yang dipadu dengan seperangkat gamelan pelog slendro. Sebagai komponen utama kesenian Reog, kapala Harimau (Barongan) dan bulu - bulu burung Merak (yang disebut Dhadak Merak) mempunyai nilai - nilai yang sangat vital dalam pertunjukan kesenian reog. Misalnya, ada gamelan lengkap tetapi tidak ada Dhadak meraknya namanya bukanlah Reog, ada Dhadak Merak namun tidak ada gamelan pengiringnya, suasana tidak akan hidup. Nah betapa vitalnya keberadaan Dhadak merak dalam pertunjukan Reog Ponorogo.

Dua binatang Harimau dan Merak ini memang mempunyai suatu mitos tersendiri yang saling terkait. Mitos - mitos tentang hewan banyak mengilhami seniman jaman dahulu untuk membuat suatu kesenian atau pemujaan. Seperti di China, dipercaya ada seekor Naga laut yang mengilhami adanya Liong dan berpadu dengan Barongsai, di Afrika (suku bangsa Sulu) mengagungkan keperkasaan burung kasuari dan sebagainya.

Mengenai masyarakat Ponorogo, keperkasaan Harimau dan keindahan burung merak ternyata melahirkan ide yang meletakkan rasa kagumya terhadap kehidupan dalam hutan yang mana harimau sebagai raja hutan dan pemakan segala hewan di hutan ternyata dapat akur, menyatu dengan burung merak. Sehingga dalam legenda Ponorogo, apabila suatu hutan itu ada burung merak dapat dipastikan hutan tersebut juga dapat diketemukan Harimau. Kenyataan ini ditangkap dengan baik dan dimanfaatkan oleh para pemburudi India, bahwa hampir dapat dipastikan setiap hutan yang ada meraknya pasti ada harimau-nya (Slamet Soeseno, Merak Mencari Macan, Intisari Feb 1997).


Kesenangan burung merak memamerkan bulunya mengilhami untuk diwujudkan dalam sebuah seni. Tarian burung merak menduduki kedudukan istimewa dalam cerita rakyat, mitologi kesenian, kerajinan tangan dan kesusastraan. Burung merak mendapat kedudukan mulia terutama di dunia seni dan kebudayaan yang berbau India. Burung merak dilegendakan sebagai kendaraan para dewa, dan merak tercatat dalam kitab Rigvedha yang berbicara eratnya persahabatan dan tali kasih sayang antara seorang gadis dan burung merak. Banyak nyanyian klasik India yang menggambarkan burung merak seperti Malhar raag, mandhu madhavi raagini. Selain itu Natyashastra dan Abhinayadarvana merupakan dua buah karya sastra mengenai tari - tarian India yang menjadi sumber inspirasi tari klasik India seperti Bharatnatyam, Kathakali dan Kuchipudi.

Lain burung merak, lain lagi dengan Harimau. Keperkasaan harimau sudah tidak diragukan lagi, karena sebutan yang melekat pada dirinya adalah Raja Hutan. Meskipun Harimau adalah binatang buas namun keindahan kulitnya, ketajaman matanya, taring sudah membuat pesona tersendiri bagi yang melihatnya. Perpaduan antara keindahan, kewibawaan, keangkuhan, keganasan, kemolekan nilah yang membuat kesenian Reog mempunyai sifat yang mirip dengan kedua binatang itu, angkuh dan egois tetapi menyimpan suatu keindahan yang luar biasa.

Rabu, 22 Februari 2012

Langgar Tua





Sebuah bangunan berukuran 6 m x 5 m tampak kokoh berdiri di pojok kiri halaman rumah, meskipun umurnya sudah lebih dari satu abad. Berdiri di bawah pohon mangga, “langgar” tua berdinding kayu weru itu tentunya banyak menyimpan cerita panjang. Bayangkan saja, Bani Kyai Munobijat mendirikan langgar itu sekitar tahun 1890an kalau dilihat dari tahun yang tertulis pada keranda tua yang dulu disimpan di samping langgar. Jadi sekarang umurnya sekitar 120an tahun. Umur yang tidak muda lagi bagi sebuah bangunan.



Kentongan Bambu

Perlu kiranya mengetahui bahwa Mbah Kyai Munobijat adalah salah satu orang penyebar agama Islam di wilayah barat Ponorogo dan sekaligus generasi awal yang tinggal di desa Srandil kecamatan jambon kabupaten Ponorogo. Beliau adalah keturunan dari Kyai Ageng Muhamad Besari (Tegalsari, Ponorogo), dimana Pondok Tegalsari merupakan pusat pondok di wilayah Ponorogo dan sekitarnya pada tahun 1600an. Salah satu keturunan dari Kyai Mohamad
Besari yang terkenal adalah Kyai Ageng Kasan Besari yang menurunkan para pendiri Pondok Moderen Darussalam Gontor, pondok pesantren terbesar di Indonesia.

Oleh karena itu di desa Srandil kita dapat menjumpai beberapa langgar model panggung (angkring) yang masih kokoh berdiri, salah satunya langgar yang berada di wilayah timur desa Srandil. Langgar tersebut barada di areal keluarga Bani Kasan Muntahar. Langgar panggung tersebut mempunyai kerangka bangunan inti berbahan kayu jati dengan sisi – sisi kurang lebih 20 cm dan berdinding kayu weru setebal 3 cm. Tidak terlalu tinggi, tetapi malah terkesan kekar. Mungkin karena itulah yang membuat langgar itu masih kokoh meski umurnya satu abad lebih. Pernik – perniknya masih terkesan klasik, seperti bantal dari kayu randu dan kentongan dari bamboo. Bapak Soeharno (imam langgar) menuturkan bahwa generasi yang hidup sekarang ini hanya meneruskan dan “ngopeni” saja, juga merawat langgar tua itu agar tidak kotor, cepat rusak serta meneruskan tradisi nenek moyang terutama mengurus jama’ahnya. Dalam ngopeni ini memerlukan kesadaran dan keikhlasan yang nantinya untuk kesadaran "mengingat dan kembali kepada jalan Allah" demikian pesan Pak Harno.

Selasa, 21 Februari 2012

Kesenian Reog Dalam Pertunjukan Obyogan dan Festival

Delapan belas tahun silam, tahun 1994, kota kecil di pojon barat laut Jawa Timur, kota Ponorogo, ada sebuah terobosan penting dalam bidang pengembangan Kesenian aslinya - REOG. terobosan yang cukup spektakuler, kala itu, karena Pemerintah Daerah Kabupaten Ponorogo mampu dan berani mengangkat kesenian Reog dalam ajang Festival dari tingkat lokal menjadi tingkat Nasional. " Festival Reog Nasional ke ... Dalam Rangka Grebeg Suro Tahun.... dan Hari Jadi Kota Ponorogo ke... " itulah kira - kira bunyi banyak sepanduk yang terpampang di berbagai sudut kabupaten Ponorogo. Festival Reog Nasional pertama kali dilaksanakan (1994), diprakarsai oleh Pemda Kab. Ponorogo, yang waktu itu Bupati di jabat oleh Dr. H. Markum Singodimedjo, MM. Festival tersebut diadakan dengan maksud antara lain, untuk mengembangkan kesenian reog agar lebih kreatif dan inovatif, mengangkat kesenian reog menjadi salah satu tujuan utama wisata Ponorogo dan yang terpenting adalah mengokohkan kesenian Reog menjadi IKON kota Ponorogo. Sehingga tidak ayal apabila kata REOG menjadi slogan pembangunan kab. Ponorogo, yang berarti Resik, Endah, Omber, Girang - gumirang. Festival Reog Nasional tersebut semakin semarak dan menjadi pusat perhatian karena sudah menjadi agenda tahunan Pemerintah Daerah Ponorogo.

Seperti biasa dan sudah menjadi tradisi masyarakat ponorogo, bahwa Festival Reog dilaksanakn di Aloon - aloon Porogo, sehingga diharapkan seluruh masyarakat dari berbagi penjuru dapat menyaksikan pertunjukkan akbar tersebut. Sebenarnya Festival Reog ini sudah lama dihelat diPonorogo, hanya saja masih bertaraf lokal. Jadi tiap kecamatan mengirim delegasi satu group untuk tampil sebagai perwakilan dalam Festival Reog. Baru tahun 1994, Festival Reog dilaksanakn dengan lingkup lebih luas yaitu Festival Reog Nasional. Pada Festival Reog Nasional I, peserta yang ikut selain dari Ponorogo juga ada yang dari kota lain, seperti Jakarta, Wonogiri, Surabaya, Balikpapan. Dan ini terus berkembang dari tahun ke tahun, bahkan pernah dalam suatu FRN ada delegasi dari negara Suriname.

Dari perjalanan FRN I sampai Festival Reog Nasional tahun 2011, banyak hal yang dipetik, utamanya dalam pertunjukan Kesenian Reog Nasional dilihat dari estetika seni, dan semakin banyaknya ragam gerak yang dapat dikembangkan. Ragam gerak yang kreatif dan inovatif. Para kreator seni, terus mengeksplor ragam gerak dari berbagai macam ragam gerak tari di nusantara atau bangsa lain. Hasil dari kreasi seni ini sangat membantu dalam pengembangan kesenian Reog sehingga menjadi suatu pertunjukan yang Spektakuler dan menjadi tujuan wisata setiap tahunnya.

Pertunjukan Kesenian Reog di Ajang Festival dan Obyogan
Dalam pertunjukan di Ajang Festival, pertunjukan Reog kelihatan rapi, rampak dan meriah. Pemain begitu semangat memperagakan tari yang telah digarapnya, mulai tari warok, tari jathilan, tari bujang ganong, tari kelana sewandana dan tari dhadhak merak. Ragam gerak tari sangat variatif dan kreatif, sehingga banyak penonton yang terkesima. Gerak tari dari masing - masing penari nampak rampak dan rapi, hampir - hampir para pemain menjaga dan berusaha agar gerak tari yang diperagakan tidak salah. Komposisi gamelan Reog yang khas, Pelog Slendro, juga sangat variatif. Mulai dari awal sampai akhir pertunjukan banyak atraksi dan variasi gamelan yang diperagakan oleh para "penggamel", yang terkadang dilupakan oleh suatu pertunjukan.

Komponen utama dalam pertunjukan adalah pemain (peraga tari) dan penonton. Dalam pertunjukan di panggung Festival, pemain dengan asyik menari dan memperagakan tarian yang diramu oleh pelatihnya (koreografer), di sisi lain penonton dalam posisi duduk manis di depan panggung sambil memperhatikan jalannya pertunjukan dari awal sampai akhir. Apabila kita lihat sepintas, pertunjukan itu sangat meriah dan mengesankan, tetapi perlu kita catat bahwa keterpaduan (interaksi) antara pemain dan penonton seakan tidak ada, yang ada hanya pemain dengan asyiknya menari dan penonton dengan asyiknya melihat tanpa ada "jual beli" komunikasi rasa.

Berbeda dengan pertunjukan kesenian reog di kampung - kampung, pentas hajatan dsb, yang biasa disebut "Reog Obyogan". Pertunjukan kesenian reog obyogan terkesan "semrawut", kacau, kumal, tariannya lepas dan bebas, mana penonton dan pemain terkadang sulit dibedakan. Hal ini disebabkan karena yang bisa menjadi pemain bukan hanya group yang pentas saja, melainkan penontonpun diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pertunjukan tersebut. Dalam suasana yang terkesan semrawut itu, sebenarnya terjadi interaksi rasa yang optimal antara pemain dan penonton, sehingga kesan dalam rasa pemain dan penonton setelah pertunjukan terasa lega dan puas.

Dari paparan di atas dapatlah kiranya digaris bawahi bahwa suatu pertunjukan yang sukses dan memuaskan semua pihak, baik penonton maupun pemain adalah, adanya interaksi aktif antara pemain dan penonton, pola gerak tidak terikat dalam suatu tatanan yang terlihat apik dan rampak, tidak dalam suasana formal. (Brudin)

Agar lebih jelas dan mendalam, sebaiknya pembaca melihat dan terlibat dalam kesenian Reog, sehingga perasaan yang paling dalam untuk menikmati "Wiraga", "Wirama", Wirasa" dengan puas.

Senin, 20 Februari 2012

Expresi Seniman Reog Somoroto

Masyarakat Ponorogo khususnya Seniman reog seakan terus merasa haus akan pertunjukan kesenian reog, meskipun Ponorogo baru saja diadakan perhelatan akbar Festival Reog Nasional. Lima Puluh peserta festival tampil secara bergantian siang sampai malam hari selama satu minggu penuh. Pesertanya pun berasal dari berbagai daerah di Indonesia, sehingga variasi pertunjukannya juga bervariasi dan tentunya tidak mengecewakan penonton. Sebenarnya sebelum diadakan festival, para seniman dan grup - grup yang akan tampil sudah melakukan latihan berkali - kali, bahkan hampir setiap hari mereka mengolah gerak tari, rasa dan irama yang mengiringi pertunjukan reognya. Selain itu, setelah festival berakhir yaitu memasuki bulan Suro, masih banyak grup - grup reog yang mengadakan pertunjukan, pagelaran dalam rangka bersih desa. Keinginan seniman reog Ponorogo untuk terus berexpresi ini, seakan tak terbendung sehingga muncul ide pertunjukan reog yang diadakan secara lokal (kecamatan, karisidenan).

Gagasan itu salah satunya diwujudkannya pertunjukan Reog yang diadakan oleh seniman Reog di wilayah eks karisidenan Somoroto, yang meliputi kecamatan Kauman, Sukorejo, Sampung, Jambon dan Badegan. Pertunjukan ini diselenggarakan di desa Somoroto, disebuah tempat yang diyakini masyarakat Ponorogo sebagai peninggalan Kerajaan Bantar Angin. Dalam acara tersebut masing - masing kecamatan mengirim satu delegasi/grup, yang mana format pertunjukan diserahkan kepada grup masing - masing. Jadi dalam acara pertunjukan itu, pertunjukan reog yang dikemas dalam format festival dan Obyogan (jalanan) dipadukan. pertunjukan tersebut terkesan bebas sesuai keinginan para seniman untuk berekspresi. Kalau diperhatikan, nampaknya pemain reog (Penari) dengan penonton terjalin komunikasi yang saling "jual-beli" sehingga pertunjukan sangat berkesan dan meriah.

Dari pertunjukan yang ditampilkan masing - masing peserta, dapat ditangkap bahwa sebenarya para seniman dan masyarakat Ponorogo masih sangat haus akan hiburan khususnya pertunjukan kesenian kebanggannya, Reog. Hanya saja pertunjukan yang diinginkan oleh masyarakat Ponorogo, adalah pertunjukan yang tidak terbatasi oleh pagar aturan yang ketat seperti festival sehingga penonton dapat menonton secara dekat dan tidak merasa ada batas. Demikian halnya pada sebagian seniman reog, mereka ingin pertunjukan reog tidak hanya dalam festival saja. Mungkin bagi sebagian seniman, ajang festival reog masih bernuansa kepentingan kelompok atau dapat dikatakan tidak fair.

Terlepas dari maksud dan tujuan diselenggarakannya pertunjukan tersebut, yang perlu kita garis bawahi adalah keinginan masyarakat dan para seniman reog yang sangat besar untuk mengekspresikan diri dalam kesenian reog. Semangat berekspresi inilah yang menjadi salah satu faktor tetap hidupnya suatu kesenian, khususnya kesenian tradisiona. Kegiatan yang dilaksanakan di Somoroto ini sangat membanggakan bagi para pecinta seni tradisi, karena keterlibatan antara seniman dan masyarakat dalam keseniannya sangat tinggi. Mungkin tanpa campur tangan pemerintah pun, mereka sudah dapat mengadakan perhelatan yang sangat meriah. Semoga saja acara semacam ini dapat diagendakan secara periodik (bulanan, tri wulanan, tahunan) sehingga masyarakat dapat terhibur dan seni reog terus akan hidup.

Minggu, 19 Februari 2012

Pulang Kampung


Rasa rindu kampung halaman memang suatu perasaaan yang sangat lumrah bagi semua orang, meskipun masih 2 bulan yang lalu kami pulang ke kampung halaman. Seperti biasa kami memanfaatkan hari sabtu - minggu untuk pulang kampung ke desa terpencil di Ponorogo bagian barat yaitu desa Srandil kecamatan Jambon. Dua hari kami kira cukup untuk menikmati suasana keluarga yang hangat. Suasana desa yang sejuk dan jauh dari kondisi desakan keinginan menambah suasana semakin jenak di rumah bersama keluarga besar kami, dan kebetulan adik - adik saya semua kumpul. Jadi lengkaplah keluargaku dalam perjalananku pulang kampung ini... Istri, anak - anaku (two princess) tampak menikmati suasana ini, dan terlebih yang terlihat sangat bahagia adalah kedua orang tuaku, Bapak dan Ibuku.

Sungkemku Bapak Ibu....


Sabtu, 18 Februari 2012

LEGENDA REOG (2)


Diceritakan bahwa Raja Bantar Angin yang bergelar Prabu Kelana Sewandana jatuh cinta kepada putrid dari kerajaan Kediri yang bernama Dyah Ayu Dewi Songgolangit. Oleh sebab api cinta yang tidak bias dipadamkan, maka Prabu Kelana Sewandana kemudian mengutus Patihnya yaitu Pujonggo Anom atau yang lebih dikenal dengan Bujang Ganong untuk melamar Dyah Ayu Dewi Songgolangit. Dalam perjalanan menuju ke kerajaan Kediri, Bujang Ganong dihadang oleh Singo Barong (seorang raja dari segala harimau yang menjaga tapal batas kerajaan Kediri). Singo Barong mempunyai bentuk tubuh yang tidak lazim yaitu orang yang berbadan manusia tetapi berkepala Harimau. Prabu Singo Barong mendapat perintah dari Raja Kediri untuk memeriksa atau melarang siapapun tanpa seijin sang Raja masuk ke wilayah kerajaan Kediri.

Perjalanan Bujang Ganong terpaksa berhenti di perbatasan kerajaan Kediri karena dihadang oleh Singo Barong. Perang mulut antara keduanya sulit dihindari sehingga memuncak menjadi perang fisik. Karena kesaktian dan keperkasaan Singo Barong, Patih Bujang Ganong dapat dikalahkan dan bertekuk lutut dikaki Singo Barong. Kemudian Singo Barong menyuruh Bujang Ganong pulang ke kerajaan Bantar Angin dan melaporkan kekalahannya.

Sesampainya di kerajaan Bantar Angin, Bujang Ganong langsung menghadap Prabu Kelana Sewandana. Mendengar kekalahan dan ketidak berhasilan utusannya, beliau langsung marah dan memerintahkan Bujang Ganong untuk mengerahkan segala kekuatan bala tentaranya untuk menyerang Singo Barong dan kerajaan Kediri. Prabu Kelana Sewandana akan menghancurkan Kediri apabila Dyah Ayu Dewi Songgolangit menolak lamarannya. Dalam perjalananya, Prabu Kelana Sewandana diiringi suara bended an Gong yang riuh sekali dengan maksud untuk member semangat kepada prajuritnya. Seperti perjalanan sebelumnya, setelah sampai di tapal batas kerajaan Kediri, pasukan Bantar Angin dihadang oleh Singo Barong dan bala tentaranya. Akhirnya peranngpun terjadi dengan dahsyatnya. Ternyata kekuatan dan kesaktian bala tentara Singo Barong sangat sulit dikalahkan oleh prajurit Bantar Angin, sehingga Prabu Kelana Sewandana harus turun tangan sendiri.

Adu kesaktian antara Prabu Kelana Sewandana dan Singo Barong berlangsung seru dan mengagumkan. Keduanya sangat sakti mandraguna dan saling serang. Prabu Kelana Sewandana sangat terpaksa mengeluarkan pusaka andalannya yaitu Cemethi Samandiman. Dengan sekali cambuk Singo barong langsung lumpuh kehilangan kekuatannya. Singo Barong menyatakan dan mengakui kekalahannya dan takhluk kepada Prabu Kelana Sewandana. Prabu Kelana Sewandana tidak keberatan menerima takhlukan Singo Barong asalkan mau menunjukkan jalan menuju ke Kerajaan Kediri dan membantu mewujudkan cita – cita Prabu Kelana Sewandana. Dua pasukan itu bergabung di bawah pimpinan Singo barong dan Bujang Ganong menuju kerajaan Kediri. Tanpa perlawanan yang berarti, pasukan kerajaan Kediri dapat dikalahkan oleh Pasukan Prabu Kelana Sewandana. Akhirnya Prabu Kelana Sewandana berhasil mempersunting Putri Kediri Dyah Ayu Dewi Songgolangit.
Untuk memperingati perjalanan dan kemenangan Prabu Kelana Sewandana ini diciptakanlah suatu kesenian yang dikenal dengan REOG

Jumat, 17 Februari 2012

LEGENDA REOG (1)


Legenda kesenian reog yang berkembang di masyarakat sangatlah bervariasi. Dari semua variasi legenda tersebut pada dasarnya hampir sama. Salah satu legenda tentang kesenian reog adalah sebagai berikut :


Legenda kesenian reog ini merupakan sindiran atau satire sekaligus mempunyai makna simbolis yang timbul pada masa Raja Bre Kertabumi yaitu raja terakhir kerajaan Majapahit. Hal ini berawal dari menyingkirnya penasehat kerajaan yang bernama Ki Ageng Ketut Suryo Alam dari Istana Kerajaan Majapahit. Ki Ageng Ketut Suryo Alam menganggap Prabu Bre Kertabumi telah menyimpang dari tatanan moral kerajaan. Penyimpangan moral inilah yang dinilai awal dari kehancuran Majapahit, dimana kebijakan politik Majapahit waktu itu banyak dipengaruhi oleh permaisuri sehingga banyak kebijakan, peraturan Raja yang tidak benar. Ki Ageng Ketut Suryo Alam menyingkir ke suatu daerah di selatan, yang bernama Kutu. Suatu desa kecil yang masuk wilayah Wengker.

Kemudian Ki Ageng Ketut Suryo Alam mendirikan sebuah padepokan yang mengajarkan sikap seorang prajurit dan kesatria yang gagah dan perkasa. Seorang prajurit harus taat kepada kerajaan dan sakti. Untuk menempuh tujuan tersebut Ki Ageng Ketut Suryo Alam atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Ki Demang Kutu melarang muridnya berhubungan dengan wanita (wadat). Menurut kepercayaanya, barang siapa melanggar ajaran tersebut, kekuatan atau kesaktinnya akan berkurang, bahkan hilang sama sekali. Untuk itulah muridnya harus tinggal di padepokannya. Kepemimpinan dan padepokan Ki Ageng Kutu cepat menyebar dan popular ke beberapa daerah lainnya.

Di dalam padepokan tersebut, Ki Ageng Kutu merenung dan berfikir, bagaimana strategi untuk melawan Majapahit yang dianggapnya meyimpang. Dalam perenungannya muncul pendapat bahwa peperangan bukanlah cara yang terbaik untuk menyelesaikan masalah, sehingga diciptakanlah sebuah perlawanan secara psikologis dengan membuat kritikan lewat media kesenian. Sebuah drama tari yang menggambarkan keadaan kerajaan Majapahit, dan oleh Ki Ageng Kutu disebut REOG.

Ki Ageng Kutu sebagai tokoh warok yang dikelilingi oleh para murid – muridnya menggambarkan fungsi dan peranan sesepuh masih tetap diperlukan dan harus diperhatikan.
Pelaku dalam Drama tari tersebut adalah Singo Barong yang mengenakan bulu merak di atas kepalanya menunjukkan kecongkakan atau kesombongan sang Raja, yang selalu diganggu kecantikan permaisurinya dalam menentukan kebijakan kerajaan.
Penari kuda atau Jathilan yang diperankan oleh seorang laki – laki yang lemah gemulai dan berdandan seperti wanita menggambarkan hilangnya sifat keprajuritan kerajaan Majapahit. Tarian penunggang kuda yang aneh menggambarkan ketidakjelasan peranan prajurit kerajaan, ketidak disiplinan prajurit terhadap rajanya, namun raja berusaha mengembalikan kewibawaannya kepada rakyat yang digambarkan dengan penari kuda (Jathilan) berputar – putarnya mengelilingi Sang Raja.
Seorang pujangga kerajaan digambarkan oleh Bujang Ganong yang memili wajah berwarna merah, mata melotot dan berhidung panjang menggambarkan orang bijaksana, bernalar panjang tetapi tidak digubris oleh Raja sehingga harus menyingkir dari kerajaan.

Setelah Ki Ageng Kutu meninggal, kesenian ini diteruskan oleh Ki Ageng Mirah pada masa Bathoro Katong (Bupati pertama Ponorogo) hingga sekarang. Oleh Ki Ageng Mirah cerita yang berlata belakang sindiran tersebut digantikan dengan cerita Panji. Kemudian dimasukkan tokoh – tokoh panji seperti Prabu Kelana Sewandana, Dewi Songgolangit yang menggambarkan peperangan antara kerajaan Kediri dan Bantar Angin.

Kamis, 16 Februari 2012

Pentas Reog Sepanjang Tahun


Agenda pertunjukan rutin Kesenian Reog oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo antara lain Festival Reog Nasional, Festival Reog Mini Nasional dan Pertunjukan pada Bulan Purnama. Agenda pertunjukan itu diselenggarakan di Panggung Utama Aloon - aloon Ponorogo. Pertunjukan yang selalu digelar dengan meriah tersebut dapat terselenggara karena memang Pemerintah Daerah memfasilitasi dan menjadi program bulanan dan tahunan. Festival Reog Nasional selalu dilaksanakan setiap tahun menjelang bulan Muharam (Jawa = Suro). Pertunjukan ini merupakan rentetan acara - acara Grebeg Suro dan Ulang Tahun Kota Ponorogo. Pagelaran kesenian Reog akbar ini bertaraf nasional sehingga pesertanya pun berasal dari berbagai daerah di Indonesia bahkan pernah yang berasal dari luar negeri. Pertujukan ini menjadi salah satu andalan pemerintah daerah Ponorogo dalam meningkatkan daya tarik bagi wisatawan lokal maupun manca negara.

Demikian pula dengan dengan Festival Reog Mini tingkat nasional. Festival reog mini ini seluruh pesertanya adalah generasi muda atau golongan remaja. Mereka rata - rata masih sekolah di tingkat SD atau SMP, mereka adalag generasi penerus kesenian Reog yang nampaknya semakin berkembang. Pola kegiatannya hampir sama dengan Festival Reog Nasional, hanya saja yang berbeda adalah peserta, selain itu waktu pelaksanaannya adalah bulan AGustus.

Agenda pertunjukan kesenian reog yang lain dan tak kalah ramai dari pengunjung adalah pertunjukan Reog Bulan Purnama. Pentas ini rutin dilaksanakan bertepatan dengan malam bulam purnama. Peserta dari pentas ini adalah grup - grup lokal (dalam kabupaten Ponorogo) yang diwakilkan melalui kecamatan - kecamatan. Biasanya pentas ini disertai dengan beberapa pertunjukan tari garapan dari Sanggar seni di ponorogo atau kesenian lainnya.

Semua kegiatan di atas terselenggara secara rutin karena memang difasilitasi oleh Pemerintah daerah dan pelaksnaannyapun di lokasi yang strategis, yaitu Panggung Utama Aloon - aloon kabupaten Ponorogo. Jadi semua orang yang kebetulan lewat di jalan utama itu bisa langsung menonton pentas kesenian reog.
Di sisi lain yang juga perlu diperhatikan dan dipertanyakan adalah bagaimana pertunjukan - pertunjukan kesenian Reog di daerah -daerah (pelosok desa) di Ponorogo? Siapa yang bisa memfasilitasi? Apakah dengan penyelenggaraan Event - event besar seperti di atas sudah cukup mewakili identitas Ponorogo sebagai KOTA REOG??

pertanyaan - pertanyaan di atas memang sederhana, namun kiranya perlu untuk disimak dan dipertimbangkan. Biasanya pertunjukan kesenian Reog di desa - desa diselenggarakan atas inisiatif personal (kawinan, khitanan, syukuran dll), inisiatif grup reog atau kumpulan grup. Itupun dengan biaya sendiri alias swadaya. Mereka mengumpulkan dana untuk menyelengarakan pertunjukan Reog secara mandiri dan alamiah. Bentuk pentasnya pun juga sangat sederhana dan terkesan apa adanya dan siapa saja dapat berpartisipasi, karena dalam pentas ini tidak ada aturan baku yang mengatur pertunjukan. Pentas demi pentas kesenian Reog terselenggara dengan meriah, karena masyarakat desa pada dasarnya haus akan hiburan. Dalam kedekatan antara kesenian reog dan masyarakat sebagai pemilik sejati itulah sebenarnya yang menjadikan identitas Ponorogo kota Reog selalu melekat.

Melihat kondisi seperti tersebut kiranya patut diapresiasi, bahwa kesenian Reog sangat perlu untuk difasilitasi penyelenggaraan pertunjukan (pentas)nya dan lebih menghidupkan pagelaran kesenian reog di desa - desa sehingga kesenian Reog benar - benar hidup di masyarakat Ponorogo.
Sebenarnya sangatlah sederhana konsep ini. Di kabupaten ada 21 kecamatan, dan dalam 1 tahun ada 12 bulan (dikurangi bulan Ramadhan 1 bulan jadi 11 bulan). Nah dari data tersebut masing - masing dapat diprediksi dalam 1 bulan dapat menyelenggarakan pertunjukan kesenain Reog di 2 kecamatan, artinya dalam 1 bulan sudah terselenggara 2 kali pentas reog. Pentas kesenian Reog ini, di luar pentas rutin yang sudah terselenggara yaitu FRN, Festival Reog mini dan Pentas Reog Bulan Purnama.

Apabila hal ini terselenggara secara wajar dan normal, seluruh kegiatan pementasan minimal 24 kali pertunjukan dan dilaksanakan dari kota sampai pedesaan. Hanya saja peran pemerintah sangat besar, karena semua pertunjukan itu sedapatnya pemerintah daerah yang memfasilitasi dan paling tidak mendanai kegiatan tersebut. Sebenarnya biaya yang dikeluarkan untuk operasional pertunjukan itu tidak terlalu banyak, asal saja partisipasi pemerintah dan masyarakat terjalin dengan baik.

Dengan intensitas pertunjukan kesenian reog yang sangat rutin, diselenggarakan dari kota hingga pelosok desa, peran pemerintah untuk memfasilitasi dan terjalinnya hubungan pemerintah daerah dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam kesenain Reog, kiranya dapat lebih menggairahkan kehidupan kesenian Reog yang menjadi identitas Ponorogo... (kalau tidak mau dicaplok Malaysia, barangkali??). Dengan anggaran yang tidak terlalu besar, pertunjukan kesenian Reog akan terselenggara sepanjang tahun dan tentunya wisatawan dari dalam maupun luar negeri tidak harus menunggu bulan Muharam, Agustus atau bulan purnama.. bukan???

Senin, 13 Februari 2012

Polemik Kata "REOG" dan "REYOG"

Perbedaan kata "REOG" dan "REYOG" terkadang bagi orang yang berfikir njlimet atau yang baru mengenal runtutan sejarah polemik dua kata tersebut membuat rancu atau membingungkan, namun bagi orang awam dua kata tersebut sama saja. Dua kata yang sama - sama mengacu ke sebuah kesenian tradisional Ponorogo, yaitu kesenian yang setiap tahun diadakan Festival Reog. Dalam penulisan ini, ijinkan penulis menggunakan kata "REOG" sebagai tulisan. Bukan berarti penulis tidak mau menggunakan kata "REYOG", namun sudah terbiasa saja menggunakan istilah ini.

Polemik ini mulai muncul ketika Bupati Ponorogo waktu itu ( Markum Singodimedjo ) mengeluarkan slogan kota Ponorogo dengan jargon kota REOG, Resik Endah Omber Girang Gumirang yang artinya kurang lebih Ponorogo kota yang bersih, indah, serba diberi kelebihan sehingga masyarakatnya gembira dan sejahtera. Selain itu, Bupati juga menyebut kesenian Reog dengan ejaan R-E-O-G, bukan R-E-Y-O-G. Ejaan inilah yang kemudian menimbulkan beberapa persepsi tentang ejaan kesenian asli Ponorogo itu.

Mbah Kasni Gunopati ( Mbah Kamituwo Kucing ) berpendapat bahwa kata yang benar adalah REYOG, karena kata reyog merupakan singkatan dari tembang Pocung dan mempunyai makna yang dalam tentang kehidupan. Mbah Wo mengungkapkan,tembang Pocung itu sebagai berikut :
Rasa Kidung
Ingwang Suksma Adiluhung
Yang Widhi
Olah Kridaning Gusti
Gelar Gulung Kersaning Kang Maha Kuasa

Penuturan Mbah Wo tentang arti kata Reyog ini masuk akal dan rasional dilihat dari sudut pandang filosofi kesenian reog yang menjadi ikon kota Ponorogo.

Entah atas nama Misi Pembangunan atau alasan lain, yang jelas BUpati menggunakan kata Reog ketika menyebut kesenian asli Ponorogo, hal ini dapat dilihat dari buku The Smilling Reog Land karangan Dr. Markum Singodimedjo dan buku ini dibuat ketika mendapat penghargaan Doktor HC dari salah satu Universitas di Singapura. Tulisan - tulisan jurnal penelitian yang menggunakan kata Reog dan sudah melalui kajian dan prosedur ilmiah antara lain :
Jurnal yang ditulis Ian Douglas Wilson, Reog Ponorogo Spirituality, Sexuality and Power in Javanese Performance Tradition ; Herman Joseph Wibowo, Drama Tradisional Reog - Suatu Kajian sistem Pengetahun dan Religi (Jarahnitra - UGM); Jotsco Petcovic, East Java Reog Project; Ensiklopedi Seni Musik dan Seni Daerah Jawa Timur ; Kamus Besar Bahasa Indnesia ; Dede Oetomo, Gender and Oriented in Indonesia.

Adapun beberapa literatur yang menggunakan kata Reyog antara lain:
Hartono, Reyog Ponorogo ; Margareth J. katomi, Performance, Music and Meaning Reyog Ponorogo ; Soedjono Hardjo Martono, Rejog, Warok dan Gemblak - Tritunggal jang yang tak dapat dipisah - pisahkan.

Terlepas dari polemik perbedaan dua kata reog - reyog dan literatur, sebagai penggembira dan penikmat seni tari tradisional, sekiranya kita bisa membuat suatu analisa yang mendalam tentang perbedaan dua kata tersebut. Yang menjadi pertimbangan apakah penting dua kata yang tujuan dan makna harfiahnya sama harus dipolemikkan, sementara esensinya semakin kabur perkembangannya? Sekiranya polemik penggunaan penyebutan Reog dan Reyog ini, tidaklah terlalu penting namun esensinya yaitu kesenian Reog itu sendiri yang lebih penting. Bagaimana Dhadhak Merak dan suara gamelan pelog slendro bisa menari dan bergaung bersama di setiap tempat dan setiap saat, sehingga seniman tradisi dan masyarakat bisa menikmati pertunjukan reog. Bukankah begitu..??

Minggu, 12 Februari 2012

Susahkah Mengurus Paguyuban..??

Beberapa minggu ini, saya sering mendapat pertanyaan dari saudara - saudara pegiat seni reog tentang beberapa permasalahan yang membelit paguyubannya. Memang itu suatu permasalahan klasik dan hampir semua paguyuban menghadapi permasalahan yang sama, terutama sifat dari paguyuban yang masih "Paternalistik". Ketergantungan terhadap satu atau beberapa orang inilah yang dapat menghambat perkembangan sebuah kesenian, apalagi orang - orang yang dijadikan patron mempunyai kekuatan penuh (full power) dalam mengendalikan paguyuban dan "mengklaim" bahwa paguyuban itu adalah milik atau karyanya. Susah bukan..??
 
Sampai saat ini, sejauh pengamatan kita, sudah banyak sebuah Paguyuban Kesenian tumbang tidak ada beritanya. Kondisi Paguyuban tersebut ada yang kembang kempis, sekarat bahkan ada yang sudah tidak aktif sama sekali alias gulung tikar tinggal namanya. Coba kita simak satu persatu Paguyuban kesenian di sekitar kita......... Lha wong Paguyuban Besar, dananya kuat saja bisa surut. Demikian pula halnya Paguyuban Kesenian Reog.

Kesenian Reog sebagai kesenian tradisional asli kota Ponorogo, sangatlah wajar apabila jumlah Paguyuban kesenian reog ini berjumlah sangat banyak. Hampir setiap desa di kabupaten ini memiliki sebuah atau lebih paguyuban reog. Hanya saja Paguyuban yang itu aktif atau tidak. Banyak hal yang menyebabkan mandegnya aktifitas suatu Paguyuban Reog. Antara lain masalah pendanaan, regenerasi, pembinaan dan publikasi. Dari data Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1994, Paguyuban Reog di kabupaten Ponorogo berjumlah sekitar 300-an, tetapi apabila kita tinjau saat sekarang ( 2012 ), masih utuhkah paguyuban tersebut?

Pada dasarnya untuk mengurus sebuah paguyuban itu sama dengan mengurus organisasi - organisasi lain. Kegiatan - kegiatannya sama, proses organisasinya sama. Hanya saja latar belakang keanggotaan, sistem hubungan antar anggota, orientasi, prinsip - prinsip yang membedakan antara paguyuban kesenian tradisional dengan organisasi lainnya. Demikian juga dalam paguyuban reog, persis sama dengan organisasi lain. yang membedakan dan yang membuat lain dari yang lain, adalah kesenian reog masih memegang teguh dengan tradisi yang masih sulit untuk ditinggalkan.

Ada beberapa hal penting yang patut untuk diperhatikan, dicermati dan harus dilaksanakan oleh pengurus Paguyuban kesenian reog, agar paguyubanya awet dan kalau bisa dapat bertahan sampai generasi berikutnya. Hal penting itu, antara lain :
1. Saling menghormati dan menghargai sesama anggota paguyuban.
2. Jangan sekali - kali berfikir komersial, yang arahnya untuk kepentingan pribadi.
3. Pegang teguhlah upacara - upacara tradisi sesuai dengan ritual khusus dalm berkesenian reog
4. Jalin kerjasama dan saling menghargai dengan paguyuban lain tanpa "PAMRIH".
5. Tidak ada yang saling "klaim", siapa yang paling (....)
6. Tetap terjalinnya silaturahmi dan komunikasi diantara semua anggota

Memang secara teori, untuk mengurus paguyuban terlihat sangat mudah, tetapi kenyataannya sulit bukan???

Sabtu, 11 Februari 2012

Bertutup Topeng

Waktu terus silih berganti. Dari detik ke menit, menit ke jam, jam ke hari, hari ke minggu, minggu ke bulan, bulan ke tahun, tahun ke windu, windu ke abad. Seakan Sang Bathara Kala selalu mendominasi dan mengalahkan manusia. Sang Dewi Durga pun juga lebih dominan.

Waktu terus mengguras jatah umur kita tanpa terasa. Hidup dengan segala perniknya tidak pernah lari dari rentang waktu yang selalu hadir dalam nafas dan denyut nadinya. Beginilah hidup. Tidak kita inginkan pun tetap ada, kita hindari pun tetap akan mengejar, kita tutup mata pun hidup terus membuka mata, hati lebar - lebar.

Dimanakah letak Akal Pikir kita? Siapakah yang akan menggiring hidup ini lebih Rasional?

Biasanya orang menyembunyikan jati dirinya, menyembunyikan maksud tujuannya, tidak ada yang berani mengatakan "INI SAYA". Sang Waktu terus menutupi dengnan kebohongan.... Topeng... Topeng... Topeng... yang selalu digunakan manusia untuk mengakali hidup ini....

Jumat, 10 Februari 2012

Cukup Pakai Kencur

Badan Anda merasa capek, nyeri, “njarem”, otot kaku? Banyak penyebab yang dapat mengakibatkan otot – otot atau urat badan ini merasa capek, nyeri (njarem) dan merasa kaku. Misalnya, orang yang terlalu memaksakan diri dalam gerak tubuh, terjatuh, terkena benturan, terkilir, olah raga yang berlebihan dan penyebab lain yang sejenis. Intinya memaksakan otot tidak sewajarnya itu dapat dipastikan akan menyebabkan otot atau urat terasa ngilu, nyeri, kaku. Terkadang orang sampai merintih, menangis bahkan berteriak – teriak menahan rasa yang cukup menganggu kenyamanan dalam beraktifitas itu. Kalau sudah dalam kondisi seperti itu, hawa amarah, malas atau manja biasanya selalu menyertai, apalagi kalau dekat dengan pacar, suami atau istri.

 Kalau anda mengalami seperti itu, biasanya tidaklah terlalu khawatir sebab orang mempunyai kebiasaan yang berbeda dalam mengatasi kondisi seperti tersebut. Ada yang memakai cara pijat tubuh baik pijat “capek”, pijat urat, akupresur maupun pijat refleksi (ada juga pijat plus plus plus), ada yang cukup digosok dengan minyak – minyakan yang dapat menghangatkan dan mengendurkan otot, ada yang berendam air hangat dan ada pula yang meluluri bagian yang sakit, nyeri dengan ramuan – ramuan herbal seperti kencur, jahe, asam. Sambil memijat – mijat ringan dan mengurut pelan, minyak atau ramuan itu dilulurkan ke bagian tubuh yang merasa capek, nyeri, kaku ataupun sakit.
Pengalaman saya kemarin setelah jatuh koprol (rolling) saat kecelakaan, pundak bagian kiri dan kaki kanan terasa sangat nyeri dan memar. Kaki kanan berbenturan dengan motor lawan yang mengakibatkan otot paha bagian belakang tertekan. Akibat tekanan itu, pinggang dan paha bagian belakang terasa sangat nyeri dan ngilu (bahasa jawa = njarem). Apabila untuk melangkahkan kaki terasa sangat sakit, apalagi untuk berdiri dari duduk. Demikian pula pundak bagian kiri yang saya jadikan tumpuhan saat terjatuh. Benturan tulang dengan aspal membuat tulang dekat persendian dan otot (urat) sekitarnya terasa nyeri dan kaku. Bahkan terlihat sedikit bengkak karena luka memar.
Berdasarkan buku – buku tentang obat herbal, ramuan – ramuan dari “empon – empon” (kunir, kencur, jahe dan lain – lain) dan saran tukang pijat urat yang mengurut saya kemarin, untuk menghilangkan rasa nyeri, mengendurkan otot, agar kulit yang memar tidak membiru atau menghitam sebaiknya diluluri, digosok dengan kencur yang diparut dan dicampur minyak telon. Kemudian segera saya praktekkan teori dan saran Mbak narni si tukang pijat urat. Dan hasilnya memang luar biasa…. Dalam waktu dua hari aku sudah merasa enteng dan rasa nyeri sudah berkurang jauh dan bisa dikatakan hamper sembuh. Luka memar itupun tidak jadi membiru atau menghitam.
Cara membuatnya cukup gampang dan bahannya tentu sangat mudah untuk mendapatkanya. Bersihkan 3 – 5 kencur (sesuaikan dengan kebutuhan) kemudian memarutnya sampai habis. Setelah selesai parutan kencur tersebut dikasih minyak telon secukupnya. Nah…simple dan gampang bukan. Ramuan sudah siap untuk dilulurkan ke bagian tubuh yang sakit. Mengurut dan mengoleskan ramuan sepele tetapi manjur itu memerlukan perasaan karena sambil mengurut pelan dan tentunya sambil berdoa semoga cepat sembuh dan segar kembali. Otot merasa capek, nyeri, kaku itu memerlukan kasih sayang, tidak cukup hanya merintih, menangis atau bahkan mengumpat. Belailah, urutlah, gosoklah otot – otot ini dengan mesra dan tidak usah merasa jijik dengan ramuan tradisional ini. Hasilnya dapatlah anda merasakan sendiri setelah mempraktekkan ramuan sederhana itu, yang jelas saya sudah merasakannya sendiri, hangaat dan enteeng. Selamat mencoba….



Rabu, 08 Februari 2012

Bermain Topeng


Waktu terus silih berganti. Dari detik ke menit, menit ke jam, jam ke hari, hari ke minggu, minggu ke bulan, bulan ke tahun, tahun ke windu, windu ke abad. Seakan Sang Bathara Kala selalu mendominasi dan mengalahkan manusia. Sang Dewi Durga pun juga lebih dominan.

Waktu terus mengguras jatah umur kita tanpa terasa. Hidup dengan segala perniknya tidak pernah lari dari rentang waktu yang selalu hadir dalam nafas dan denyut nadinya. Beginilah hidup. Tidak kita inginkan pun tetap ada, kita hindari pun tetap akan mengejar, kita tutup mata pun hidup terus membuka mata, hati lebar - lebar.

Dimanakah letak Akal Pikir kita? Siapakah yang akan menggiring hidup ini lebih Rasional?

Biasanya orang menyembunyikan jati dirinya, menyembunyikan maksud tujuannya, tidak ada yang berani mengatakan "INI SAYA". Sang Waktu terus menutupi dengnan kebohongan.... Topeng... Topeng... Topeng... yang selalu digunakan manusia untuk mengakali hidup ini....

Selasa, 07 Februari 2012

Tlethong Sapi

Cerita singkat tentang "Tlethong" atau kotoran hewan ini berasal dari Pak Yat, seorang petani kecil di lereng Gunung Argopuro, Jember.

Cerita ini berawal dari serangkaian pertanyaanku seputar cara pengolahan lahan di sawahnya. Pak Yat bercerita cara mengolah sawahnya secara detail, mulai dari pengairannya sampai dengan pemberian pupuk dan penanganan pasca panen. Yang menarik adalah cara pemupukan. Pak Yat memberikan pupuk Urea 1 - 1,5 kw untuk sawahnya yang luasnya hanya 0,2 Ha. Takaran yang sangat berlebih bila diukur dari standart sehat pemberian pupuk Urea.

Pertanyaan aku kembangkan pada hewan ternak piaraannya, sapi. Pak Yat mempunyai sapi 2 ekor, pada saat aku kesana, salah saekor sapinya sedang hamil tua. Bagaimana penanganan kotoranya ? maksudku aku mencoba mengarahkan ke pemakaian kotoran sapi untuk pupuk organik sebagai pengganti pupuk kimia.

Ketika aku bertanya tentang kotoran hewan atau tlethong itu, pak Yat ketawa dan beliau menjawab bahwa kotoran - kotoran itu di buang. Kalau sudah tinggi tumpukannya, kotoran itu dibakar. Kadang - kadang ada orang dari perkebunan (rumah pak Yat memang dekat dengan Perkebunan) meminta kotoran itu. Pernah suatu saat orang perkebunan mengambil kotoran sapi itu sampai 11 truk dan dia berjanji akan mengganti dengan sejumlah uang. tetapi sampai beberapa bulan, tahun tidak muncul kompensasi itu. Pak Yat jadi kecewa sekali dan sekarang Tlethong sapinya hanya dibiarkan dan dibuang asal saja......

Pak Yat, jangan dibuang. Kumpulkan saja kotoran sapi itu, nanti bisa jadi pupuk hebat lho..... Bau yang tidak sedap, bentuk yang tidak indah tapi itu Mutiara dan Obat yang manjur untuk bumi ini lho.......
mari kita selamatkan dan sehatkan lahan kita...... terima kasih Pak Yat.

Senin, 06 Februari 2012

Holiday for Indonesian Labor (Cerita dari Hongkong)


Nasib Pahlawan devisa atau para Tenaga kerja Indonesia (TKI) memang sangat buruk. Perjalanan mereka mulai dari perekrutan, pengiriman, penempatan hingga pemulangan selalu menjadi sumber rezeki banyak pihak. Uang yang dikirim dari luar negeri juga merupakan pemasukan bagi Negara. Akan tetapi nyaris tidak satu pihak pun di Indonesia yang secara serius dan konsisten menangani persoalan yang dihadapi para pahlawan devisa ini secara integrative, konfrehensif, tuntas dan manusia. Jasa mereka sangat terasa di desa asalnya, dan tidak disadari sudah sangat berperan dalam pembangunan desa baik secara ekonomi maupun fisik. Di tempat mereka bekerja, mereka harus memeras tenaga dan perasaan demi menunaikan tugasnya sebagai tenaga kerja. Pagi, siang, sore, malam dan pagi lagi mereka lakoni dengan sabar dan telaten.
Mbak Mita dan Kawan - kawan Sang Pahlawan Devisa sedang mejeng disalah satu sudut Victoria Park
Tanpa mengabaikan berbagai peran TKI kita, saya akan melihat sisi lain dari kehidupan TKI kita yang berada di kota Hong Kong dan sekitarnya. Kemarin saya ngobrol via email dengan seorang kawan (Mbak Mita S Mawarni) yang menceritakan saat – saat mereka berlibur melepas kepenatan selama seminggu bekerja. Mbak Mita adalah seorang TKW yang berasal dari salah satu kota di Jawa Timur, tepatnya Tulungagung. Dia hampir 4 tahun di Hongkong tepatnya di Central Hongkong. Bekerja… bekerja…. Dan bekerja…. Itulah keseharian Mbak Mita membanting tulang demi keluarganya. Hari Senin sampai Sabtu dia bekerja dan hari Minggu mendapat kesempatan libur.


Hari Minggulah yang sangat dinantikan oleh para TKI di Hongkong dan mungkin di kota, Negara lain. Sungguh hari yang menyenangkan…. FREE and FRESH hahaha Sabtu malam dan Minggu Pagi dapat dipastikan wajah – wajah berseri dan gembira terlihat dari para TKI itu termasuk mbak Mita, tetapi pada Minggu malamnya pastilah capek setelah seharian berlibur menghabiskan waktu untuk menikmati hari “kemerdekaan” itu dan wajah sedkit muram karena beban kerja harus dilakoninya besok pagi. Capek deh…….
Biasanya kawan – kawan TKI berkumpul di suatu taman yang cukup nyaman untuk berlibur dan ngobrol – ngobrol, yaitu di Victoria Park atau dalam bahasa Hongkongnya Kunyun. Tempatnya juga cukup indah dan sudah tersedia beberapa fasilitas yang cukup untuk berbagai keperluan. Mall, tempat hiburan, tempat untuk duduk – duduk santai, penjual makanan semua sudah tersedia di sekitar area itu. (kecuali jagung bakar).Victoria Park inilah tempat favorit bagi kawan – kawan TKI di sekitar Hongkong.  Victoria Park atau Kunyun berada di kota Coswebay (Dhonglowan). Kota ini situasinya sangat nyaman untuk shoping dan jalan -  jalan. Taman itulah paling sering dijadikan tempat bertemu kawan – kawan TKI untuk saling cerita, curhat, berlibur melepas kepenatan malah mungkin juga ada yang cinta lokasi sesame TKI kwkwkwkw….
Lokasi Victoria Park cukup dekat dengan Central Hongkong, bisa di tempuh dengan naik “trem”, kendaraan semacam kereta (spoor) kecil, dalam bahasa Hongkongnya “Ayu thing – thing” eeehh “Ting – Ting” hehe. Kendaraan yang sangat murah meriah, cukup 2 dollar HK (kalau dikurs rupiah berapa ya……??). selain trem dapat juga naik bis kota atau MTR (kereta bawah tanah) tetapi bayarnya juga agak mahalan sedikit daripada trem. Para kawan – kawan TKI terkadang tidak terlalu memikirkan tentang tarip tapi yang penting bisa berlibur dan ber”happy” Happy” ria hehe….
Waktu untuk berlibur hanya sehari dan batas jam malam kembali ke mess atau tempat kerja rata – rata jam 20.00 waktu Hongkong. Lumayan …… (daripada tidak bisa liburan hehe). Makanya waktu yang hanya satu hari itu benar – benar dimanfaatkan oleh para TKI untuk menikmati waktu liburnya.  Aktivitas mereka saat berlibur itu biasanya kumpul – kumpul bareng dengan sesama TKI, ngobrol – ngobrol, shoping, jalan – jalan di mall (Cuma lihat – lihat kali..), menikmati hiburan dan banyak lagi. Waahh… tentunya tidak sulit nih mencari kawan – kawan TKI di Hongkong…..

Selamat berlibur wahai kawanku, saudaraku dan para pahlawan Bangsaku… Untuk sementara bersabarlah demi keluarga. Biarkan para penguasa kita belum maksimal melindungimu tetapi yang penting masih bisa menikmati liburanmu dengan santai……. Yang penting HAPPY…

Salam untuk semua kawan, saudara TKI di manapun berada….

Minggu, 05 Februari 2012

Terbangan Maulid Nabi SAW


Sayup - sayup terdengar suara lantunan sholawat dengan nada dan suara khas Jawa dari sebuah masjid. Suaranya kadang datar dan terkadang melengking keras tetapi dengan liukan suara merdu. Orang setempat menamakan "TERBANGAN MAULID NABI", artinya melantunkan sholawat dan puji - pujian dalam rangka hari kelahiran Nabi Muhammad saw dengan diiringi tiga rebana berukuran sekitar 45 cm - 1 m dan gendang besar. Para jamaah sholawat itu melantunkan dengan penuh perasaan dan penghayatan sebagai bentuk tawadu', kecintaan, kerinduan akan syafaat Nabi saw. Lantunan bait - bait sholawat membuat hati ini bergetar dan merinding juga gembira. Di masjid itu berkumpul sekitar 45 orang yang semua berperan sesuai dengan peran mereka masing - masing. Tiga orang memainkan rebana sambil memandu lantunan sholawat secara bergantian, satu orang pengendang yang mengatur ritme dan menggetakkan hati serta yang lainnya menyimak dan mengikuti lantunan sholawat penabuh rebana (reff nya hehe). Suasana gembira, khusuk, syahdu bercampur menjadi satu.

Saya sejak pagi sudah mempersiapkan diri untuk mengikuti acara tahunan itu, perasaan ini seakan merasa kurang lengkap apabila tidak bisa mengikutinya. Saya terbiasa sebagai pengendang dalam acara "Terbangan" itu, tetapi sesekali juga memainkan rebananya. Ehmmm... benar - benar menghayati apa yang kami baca, walau bacaannya dengan logat Jawa kuno seperti macapat. Terlepas dari pro kontra perayaan acara Maulid seperti Terbangan ini, ternyata acara Terbangan itu masih mengakar kuat di masyarakat kita. Yaa..salah satunya di desa saya, Srandil, kecamatan jambon kabupaten Ponorogo. Budaya warisan leluhur, generasi Kyai Ageng Kasan Besari dari Tegalsari untuk berdakwah di kawasan Ponorogo bagian barat yang terkenal dengan daerah merah, artinya daerah yang banyak begal, perampok, warokan dan sebagainya. Media dahwah inilah yang mampu meluluhkan hati para pelaku seperti itu.

Seperti halnya adat Jawa lainnya, peringatan ini juga ada gunungan yang berisi beberapa tanaman yang sering dipakai dalam adat jawa seperti daun beringin, puring, andong, bunga kelapa (manggar), janur dan dihiasi pula mainan dari janur kelapa. Menarik sekali perpaduan antara adat Jawa dan perayaan hari kelahiran Nabi saw.

Pembacaan sholawat dan puji - pujian kepada Nabi saw yang dilantunkan dengan nada khas Jawa kuno dilaksanakan dari pagi sampai sore, tentunya ada jeda untuk istirahat hehe Nah dalam waktu jeda itu biasanya diadakan kenduri. Kenduri ini dilakukan di sela waktu istirahat dan akhir acara. Acara yang mungkin sangat jarang kita temui di era jama sekarang, karena masih bernuansa tradisional. Acara Kenduri bersama secara besar (jamaah lebih banyak) pertanda acara Terbangan diakhiri.

Setelah acara kenduri bersama, acara dilanjutkan dengan tabur beras kuning yang biasanya disertai dengan uang logam. Wooow cukup ramai dan meriah lho hehe karena banyak anak - anak yang saling berebut uang logam itu hehe.... meriah bukan??
Acara seperti itu merupakan ungkapan rasa kecintaan,kerinduan masyarakat terhadap Nabi mereka, Nabi kita, Nabi Muhammad saw. Entah dengan cara bagaimanapun itu merupakan salah satu bentuk dharma baktinya sebagai umat Nabi saw. Dan yang lebih penting kita menauladani sikap kepemimpinan, toleransi, beribadah dan segalanya dari Nabi saw.

Duhai Kekasihku, Jantung hatiku sudah lama aku tidak menyapaMu, memujiMu....
Aku hanya berharap nadrah dan syafaatMu..
Yaa Sayyidii... Yaa Rosulallah...

Yaa Allah limpahkan sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad saw pemberi syafaat umat dan kepada kelurga Beliau. Jadikan umat ini cepat berlari untuk mengabdikan diri dan sadar kepada Allah. Yaa Allah ampuni dosa2 kami, permudahlah segala urusan kami, bukalah hati dan jalan kami, tunjukilah kami.... Yaa  Allah pereratlah persaudaraan diantara kami... Amiin

Jumat, 03 Februari 2012

Harimau Mengaum di Glantangan


Kulihat seorang pelajar SMP sedang mengayuh sepeda menyusuri gang kecil di depan rumah saya. Baju coklat Pramuka yang dikenakannya basah kuyup karena sore ini hujan cukup deras dan anak itu tampaknya tidak mempedulikan rintik hujan yang terus membasahi tubuhnya. Ooohooo…. Baju dan suasana itu mengingatkan saya semasa duduk dibangku SMP, menjadi aktivis Pramuka. Yaa… PRAMUKA!!! Praja Muda Karana. Entah mengapa spontan saya teringat waktu Perkemahan Lomba Tingkat di Perkebunan Glantangan Jember di era tahun 1990. Meski tidak ingat secara utuh tetapi sudah cukup menggugah ingatanku pada suatu perhelatan bergengsi bagi Pramuka tingkat Penggalang. Kami satu regu dari Gugus Depan A/89 SMP Negeri 1 Ponorogo waktu itu mewakili kwartir cabang Ponorogo bersama satu regu putri dari Mts Al Islam Joresan Ponorogo. Sungguh mengesankan, membanggakan walau cukup melelahkan. Mungkin karena sangat berkesan itulah otak saya langsung teringat masa perkemahan itu begitu melihat seorang pelajar berbaju seragam Pramuka yang sedang diguyur hujan. Ehmmm…..
 
Mengapa membanggakan dan mengesankan peristiwa itu? Tentu saja sampai kapanpun akan selalu saya ingat juga kawan – kawan seperjuangan dulu. Kegiatan itu bernama Lomba Tingkat IV (mesti ada tingkat I, II, III bukan hehe…) Pramuka Penggalang kwartir daerah Jawa Timur. Proses untuk mengikuti sampai tingkat propinsi (kwartir daerah) ini sangatlah berat dan panjang. Mulai seleksi di tingkat gugus depan (sekolah), kwartir ranting (kecamatan) sampai kwartir cabang (kabupaten). Kompetisi berbagai bidang dilombakan baik bidang kepemimpinan, mental spiritual, bakat ketrampilan, pengetahuan, fisik dan masih banyak lagi. Kami regu Harimau (begitu nama regu kami dan kami sangat bangga akan nama Harimau) berhasil menyisihkan kawan – kawan dari gugus depan lainnya hingga akhirnya kami menjadi delegasi kwartir cabang Ponorogo. Itulah alasan kami yang pertama untuk selalu ingat dan banggakan, proses kompetisi yang berat dan panjang, serta menjadi perwakilan kabupaten (kwartir cabang) pada usia yang masih remaja.
Alasan lainnya adalah untuk pertama kalinya kami berkemah di luar kota dengan waktu yang cukup lama (satu minggu) sehingga kami merasa itu suatu kesempatan yang luar biasa untuk berbuat sebaik mungkin kepada diri kami sendiri, sekolah (gugus depan) dan kabupaten Ponorogo. Tentunya kesempatan itu tidak semua pelajar di Ponorogo dapat menikmati dan mengikuti kegiatan Perkemahan Lomba Tingkat IV kwartir darah Jawa Timur di Bumi Perkebunan Glantangan kabupaten Jember karena satu kabupaten hanya diwakili oleh 1 regu putra dan 1 regu putri, padahal 1 regu hanya 10 orang. Ohooo bisa len ajelenan (kata orang Madura haha)
 
Pimpinan regu kami adalah Dwi Hermawan, anggota – anggotanya Gatot Sulaeman, Kartika Bagus Cahyono, Anggoro Yudianto, saya (Bahrudin Khoiri), Apri Fahrudi, Edi Setyo Widagdo, Dwi Parjoko, Slamet widianarko dan Imam Isnaini. Sebagai Pembina Regu sekaligus Pembina gugus depan adalah Bapak Mulyono. Kami mendapat gemblengan selama berbulan –bulan (mungkin jadi bulan – bulanan haha) oleh Kak Tjatur Ahmad Ansori dan kakak – kakak senior kami yang juga pernah ikut dalam Lomba Tingkat IV. Masih melekat diingatan saya, waktu masa – masa penggemblengan di kawah condrodimuko, latihan fisik, mental, ketrampilan, kedisiplinan dan semua materi yang dilombakan tidak mengenal pagi, siang, malam. Latihan terus dilaksanakan sesuai dengan program dan target – target baik kecepatan, ketepatan dan kebenaran. Sungguh melelahkan…… tapi waktu itu tidak merasakan karena saking senengnya kwkwkw..
Pagi itu, tanggal 1 Juli 1990 kami berangkat dari Ponorogo dengan bis umum menuju kota Jember. Kami berangkat dengan semangat yang menyala, rasa optimism, percaya diri dan siap segalanya untuk menghadapi perkemahan tersebut. Saya melihat rasa itu juga ada pada regu putri dari Mts Al Islam. Dari balik kerudungnya mereka tampak sekali bersemangat dan optimis. Saya agak lupa nama – nama dari regu putrid itu, hanya beberapa nama yang saya ingat. Aning sebagai pimpinan regu, anggotanya Ida, Ima, Dian, Dyah, Ainun dan Tsalis. Walau regu putrid dari sekolah kami kalah dengan mereka, tapi kami tetap merasa hormat, salut dan merasa satu kesatuan dalam berjuang.
 
Perkemahan tersebut berlangsung hingga tanggal 7 Juli 1990. Seperti harimau lepas dari kandangnya, kami sejak memasuki area perkebunan Glantangan sudah siap untuk bertanding dan mengadu kemampuan dengan regu lain. Mungkin kalau dilihat gitu seperti harimau sedang mengaum keras dan siap memangsa hahahaha….. ya wajar saja, gemblengan yang begitu keras dan disiplin tinggi membnetuk kami seperti itu. Walau demikian kami tetap mengutamakan persahabatan, persaudaraan diantara sesame. Itu kami lakukan selama perkemahan berlangsung. Nilai kedisiplinan, persaudaraan, persahabatan, egoism, kepercayaan diri, kemandirian, kekreatifitasan dan lain – lain kami peroleh salah satunya dari perkemahan Lomba Tingkat IV itu. Bolehlah harimau itu mengaum sekeras – kerasnya, siap menerkam siapa saja tetapi keindahan persaudaraan adalah suatu hal yang lebih berarti dalam hidup ini.

Salam Pramuka….. !!!

bisa juga dilihat : www.jejakbrudin.wordpress.com