Rabu, 22 Februari 2012

Langgar Tua





Sebuah bangunan berukuran 6 m x 5 m tampak kokoh berdiri di pojok kiri halaman rumah, meskipun umurnya sudah lebih dari satu abad. Berdiri di bawah pohon mangga, “langgar” tua berdinding kayu weru itu tentunya banyak menyimpan cerita panjang. Bayangkan saja, Bani Kyai Munobijat mendirikan langgar itu sekitar tahun 1890an kalau dilihat dari tahun yang tertulis pada keranda tua yang dulu disimpan di samping langgar. Jadi sekarang umurnya sekitar 120an tahun. Umur yang tidak muda lagi bagi sebuah bangunan.



Kentongan Bambu

Perlu kiranya mengetahui bahwa Mbah Kyai Munobijat adalah salah satu orang penyebar agama Islam di wilayah barat Ponorogo dan sekaligus generasi awal yang tinggal di desa Srandil kecamatan jambon kabupaten Ponorogo. Beliau adalah keturunan dari Kyai Ageng Muhamad Besari (Tegalsari, Ponorogo), dimana Pondok Tegalsari merupakan pusat pondok di wilayah Ponorogo dan sekitarnya pada tahun 1600an. Salah satu keturunan dari Kyai Mohamad
Besari yang terkenal adalah Kyai Ageng Kasan Besari yang menurunkan para pendiri Pondok Moderen Darussalam Gontor, pondok pesantren terbesar di Indonesia.

Oleh karena itu di desa Srandil kita dapat menjumpai beberapa langgar model panggung (angkring) yang masih kokoh berdiri, salah satunya langgar yang berada di wilayah timur desa Srandil. Langgar tersebut barada di areal keluarga Bani Kasan Muntahar. Langgar panggung tersebut mempunyai kerangka bangunan inti berbahan kayu jati dengan sisi – sisi kurang lebih 20 cm dan berdinding kayu weru setebal 3 cm. Tidak terlalu tinggi, tetapi malah terkesan kekar. Mungkin karena itulah yang membuat langgar itu masih kokoh meski umurnya satu abad lebih. Pernik – perniknya masih terkesan klasik, seperti bantal dari kayu randu dan kentongan dari bamboo. Bapak Soeharno (imam langgar) menuturkan bahwa generasi yang hidup sekarang ini hanya meneruskan dan “ngopeni” saja, juga merawat langgar tua itu agar tidak kotor, cepat rusak serta meneruskan tradisi nenek moyang terutama mengurus jama’ahnya. Dalam ngopeni ini memerlukan kesadaran dan keikhlasan yang nantinya untuk kesadaran "mengingat dan kembali kepada jalan Allah" demikian pesan Pak Harno.

1 komentar:

  1. Saya ingat..... Waktu itu kami berempat silaturahmi ke Srandil. Di Langgar inilah kami dijamu makan siang.... Terima kasih Gus Brudin! Saya juga teringat.... Langgar seperti ini, dulu pernah menghiasi halaman rumah kami, di Desa Poko! Peninggalan Mbah Aliman, Mbah Ali Rejo, diteruskan Mbah Khusnan. Dahulu, ketika zaman Gestapu, Banyak orang dari desa-desa sekitar mengaji di Langgar ini. Sayang, kemudian langgar ini sepi dari aktifitas. Dan Tahun 1979, Langgar itu DIBONGKAR!!!

    BalasHapus