Selasa, 06 Maret 2012

Ngelmu Iku.....

Jarum jam sudah mendekati waktu tengah malam, mapir pukul 24.00 WIB. Suasana rumah sunyi senyap karena semua isi rumah sudah terlelap tidur sejak pukul 21.00 tadi. Hanya saya yang sampai larut malam, bahkan mau berganti hari, mata ini belum terpejam. Sesekali aku mendengar kokok ayam jantan, lolongan anjing dan suara binatang malam lainnya. Sebenarnya mata saya sudah lumayan lelah karena selama kurang lebih 2 jam membaca buku History of Java karangan Thomas Stamford Raffles. Beberapa hari ini saya mengulang membaca buku tebal itu. Lembar demi lembar saya membacanya secara pelan dan teliti, karena saya cukup tertarik sekali dengan isi buku yang garis besarnya menceritakan kondisi masyarakat Jawa pada masa lalu.


Setelah lelah membaca, saya mencoba merebahkan tubuh untuk istirahat. Tampaknya mata ini belum juga mau terpejam. Ingatan tentang berbagai peristiwa ataupun khayalan silih berganti seperti slide terpampang di depan mata secara silih berganti. Dalam slide sebelum tidur itu tiba – tiba saya seakan mendengar atau teringat dengan tembang “pocung” yang menekankan perlunya menuntut ilmu. Dengan seksama saya mengikuti dan mencoba mendalami slide petuah dalam bentuk tembang itu. Tembang yang terdiri dari 4 (empat) baris itu seakan menghipnotis untuk mengenang masa kecil ketika orang tua saya sering menembangkan tembang pocung itu.

Ngelmu iku, kelakone kanthi laku
Lekase lawan kas,

wekase kas nyantosani
Setya budya pangekesing dur angkara


Demikian tembang pocung yang tercatat dalam buku Wedhatama karya KGPAA Mangkunegara IV Raja Mangkunegaran. Karya yang sangat mendalam maknanya, tinggal bagaimana orang membaca, mendengar, menyimak, melihat, memahami, menganalisanya. Setiap pemahaman dan pemaknaan akan memberikan makna yang berlainan bahasa tetapi masih dalam pengertian yang sama apabila ditarik garis besarnya. Petuah yang singkat, padat dan mengesankan, apalagi dalam penyampaiannya disertai dengan menembangkan cengkok tembang pocung.

Tembang di atas apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut, “ Sebuah Ilmu itu dalam penempuhannya memerlukan pengorbanan, diawali dengan niat yang kuat dan dengan ilmu itu manusia mempunyai kemampuan untuk memahami budaya yang nantinya dapat berguna untuk mengikis atau menghilangkan keangkara murkaan”. Demikian terjemahan kasar dari tembang gubahan Sang Pujangga sekaligus Raja Mangkunegaran itu.

Tak terasa mulut ini menggumamkan tembang pocung itu meskipun dalam kondisi 40 watt, suatu kondisi antara sadar dan tidak. Dalam kondisi itu, saya mencoba jauh berlayar menuju pemaknaan kata demi kata, kalimat demi kalimat. Saya sangat sadar bahwa menempuh, mencari imu itu penuh dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Pengorbanan dan semangat itu nantinya akan membuahkan hasil yang mana manusia tidak akan bisa melampaui dari manfaat ilmu itu. Para pendiri Pondok Moderen Darussalam Gontor Ponorogo memberikan petuah bahwa dalam segala hal itu mengorbankan "BANDA, BAHU, PIKIR LEK PERLU SAK NYAWANE" (Harta, tenaga, pikiran dan kalau perlu sekalian dengan nyawanya). Demikian petuah hebat yang ditularkan kepada antri - santrinya juga kepada siapa saja. Sungguh berat pengorbanan dan penempuhan dalam mencari ilmu itu. Dengan diawali niat yang kuat, semangat yang menyala perjalanan mencari dan memahami ilmu itu akan berakhir dengan barokah.

Semakin tinggi ilmu yang dimiliki seseorng, seharusnya ya sarjanan sujananing budhi. Orang yang terpelihar karena ilmunya, bukan malah dengan ilmunya seseorang justru akan membuat kerugian bahkan kehancuran diri dan masyarakat. Kesetiaan terhadap budaya (semua sisi - sisi kehidupan) akan semakin kuat sehingga ilmu itu akan membuat orang berfikir lebih rasional dan dapat meminimalisir kejiwaannya (setya budya pengekesing dur angkara). Ilmu tidak bisa dicuri dan ilmu tidak akan lari.....

Pengembaraan saya sebelum tidur ternyata berakhir dengan tertutupnya mata dan masuk ke alam tidur....

Selamat mencari ilmu sampai kapanpun.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar