Senin, 12 Maret 2012

Barokah Lintas Alam


Siang itu, ketika saya duduk di bangku ruang tunggu terminal bis Mojokerto, tak terasa terbayang jelas kejadian 11 (sebelas) tahun lalu. Di terminal itu, kami berlima (Sri Hantarko, Gatot Sulaeman, Apri Fahrudi, Dwi Parjoko, David dan saya) berjalan tertatih – tatih menahan rasa capek, ngilu karena baru saja mengikuti lomba lintas alam di daerah Pohjejer (Mojokerto) sejauh 40 kilometer. Yaa.. Lomba Lintas Alam yang diadakan oleh Mahisapala Universitas WR Supratman Surabaya yang seingatku dilaksanakan tahun 1991-an. Waktu itu kami mewakili Palang Merah Remaja (PMR) Wira Ganesha SMA Negeri 1 Ponorogo, dan saya waktu itu masih duduk di kelas 1.



Berangkat dengan dana pas – pasan, kami mengikuti lomba tanpa berkurang semangat sedikit pun. Hanya berbekal tekat dan nekat (bonek… haha) kami tetap menjadi peserta lomba lintas alam. Kami sebelumnya sama sekali tidak mengenal sedikitpun wilayah Mojokerto, apalagi Pohjejer yang menjadi tempat lomba. Jiwa muda dan semangat (mungkin) luar biasa saja yang membawa kami ke daerah itu. POHJEJER. Satu kecamatan di wilayah kabupaten Mojokerto yang kelak (sekitar tahun 2007 – 2010) menjadi daerah yang selalu saya kunjungi dan lewati, bahkan saya pernah mendampingi Gabungan Himpunan Petani Pemakai Air (GHIPPA) yang mencakup wilayah Pohjejer selama hamper 2 (dua) tahun.

Route dan medan yang lumayan berat kami susuri, jalan berbelok, naik – turun bukit, menyusuri sungai yang berbatu kami terjang, sehingga jarak tempuh sepanjang 40 kilometer itu dapat kami selesaikan dalam waktu 5,5 jam. Waktu tempuh kami untuk menyelesaikan route lomba tergolong cepat karena rata – rata dalam 1 (satu) jam kami menempuh kurang lebih 8 (delapan) kilometer.

Ada cerita nekat, tapi konyol dan lucu setelah acara itu. Kira – kira pukul 14.00 acara sudah selesai dan kami akan pulang ke Ponorogo karena besok pagi sudah masuk sekolah, Apri yang berperan sebagai bendahara kami mengatakan bahwa dana sisa yang kami punya tinggal sedikit, dan dia mengusulkan lebih baik jalan kaki menuju terminal bis Mojokerto. Karena dana mepet kami setuju saja, tetapi kami tidak tahu berapa jarak dari Pohjejer ke terminal bis. Meskipun capek dan kaki sudah kesemutan, kami dengan tertaih tetap jalan kaki. Kami adalah manusia yang mempunyai tenaga terbatas. Setelah berjalan kira – kira 3 (tiga) kilometer, kami semua menyerah dan akhirnya naik angkot sampai terminal Mojokerto. Kami terperanjat ketika Pak Sopir angkot itu mengatakan bahwa jarak Pohjejer – terminal bis adalah 25 kilometer. Spontan kami tertawa dan menyalahkan Apri yang punya ide… haha

Setelah sampai di terminal kami langsung melaksanakan sholat ashar. Sewaktu melaksanakan sholat itulah kami benar – benar merasakan kesemutan, pegal – pegal yang luar biasa pada bagian kaki kami sehingga dalam gerakan sholat kami merasakan sakit. Ehmmmm… capeknya bukan main. Seharian kami belum makan nasi, hanya terisi ketela pohon (manihot utilisima) yang sempat kami makan sewaktu dalam perjalanan lomba. Apri yang selalu mengecek kondisi keuangan memberitahukan bahwa kami bisa makan tetapi yang harganya murah, seperti nasi bungkus. Kami melihat satu persatu menu yang tertera di masing – masing stand warung dalam terminal, dan akhirnya kami menemukan warung yang menjual NASI PECEL. Wooow tanpa pikir panjang kami langsung masuk warung itu dan memesannya. Kami semua beranggapan bahwa nasi pecel tentu harganya murah seperti di Ponorogo.

Suatu kebetulan dan barokah dari Allah, ketika kami memesan nasi pecel (berlauk kerupuk) tiba – tiba Ibuk penjual nasi pecel dan anaknya terkejut dan memanggil salah satu teman kami. “Mas Koko…. Teka ndi Mas?”. Koko adalah nama panggilan Sri Hantarko, senior kami yang mendampingi kami. Spontan saja suasana menjadi berubah. Ibu penjual nasi itu langsung menambah telur dadar di piring kami satu – satu. Kami semua senang dan bersyukur kepada Allah yang telah member kami rizqi yang tak kami duga sama sekali. Sambil makan kami berbincang – bincang dengan Ibu penjual nasi dan keluarga yang kebetulan berada di warung. Ibu itu ternyata tetangga Mas Koko di Ponorogo. Ehmm berkali – kali kami mengucap syukur. Sampai akhirnya kami harus berpamitan dan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibu dan keluarganya. Ketika berpamitan, Ibu itu member kami minuman botol (aqua) dan beberapa lembar uang (sangu). Kami merasa tidak enak, tetapi mau bagaimana lagi mereka memaksa… (mungkin tahu kalau kami kaum musafir yang dhuafa’ kwkwkw).

Kebahagiaan dan kesenangan kami semakin bertambah, karena kenikmatan tidur dari terminal Mojokerto sampai terminal Ponorogo juga kami dapatkan. Kami tersadar setelah kondektur bis membangunkan kami karena bis sudah standby di terminal selama 30 menit. Nikmat dan barokah yang luar biasa….. kenangan yang tak kan kami lupakan. Saya menyadari, hanya kesabaran, doa dan keikhlasan yang bisa membuat itu semua…. Alhamdulillah, dan tak terasa orang yang saya tunggu sejak tadi sudah duduk di sampingku tidak tahu kapan dia datang karena terlalu asyik dengan bayangan kenangan 11 (sebelas) tahun lalu…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar