Siang itu, ketika saya duduk di bangku
ruang tunggu terminal bis Mojokerto, tak terasa terbayang jelas kejadian 11
(sebelas) tahun lalu. Di terminal itu, kami berlima (Sri Hantarko, Gatot
Sulaeman, Apri Fahrudi, Dwi Parjoko, David dan saya) berjalan tertatih – tatih
menahan rasa capek, ngilu karena baru saja mengikuti lomba lintas alam di
daerah Pohjejer (Mojokerto) sejauh 40 kilometer. Yaa.. Lomba Lintas Alam yang
diadakan oleh Mahisapala Universitas WR Supratman Surabaya yang seingatku
dilaksanakan tahun 1991-an. Waktu itu kami mewakili Palang Merah Remaja (PMR)
Wira Ganesha SMA Negeri 1 Ponorogo, dan saya waktu itu masih duduk di kelas 1.
Berangkat dengan dana pas – pasan, kami
mengikuti lomba tanpa berkurang semangat sedikit pun. Hanya berbekal tekat dan
nekat (bonek… haha) kami tetap menjadi peserta lomba lintas alam. Kami
sebelumnya sama sekali tidak mengenal sedikitpun wilayah Mojokerto, apalagi
Pohjejer yang menjadi tempat lomba. Jiwa muda dan semangat (mungkin) luar biasa
saja yang membawa kami ke daerah itu. POHJEJER. Satu kecamatan di wilayah
kabupaten Mojokerto yang kelak (sekitar tahun 2007 – 2010) menjadi daerah yang
selalu saya kunjungi dan lewati, bahkan saya pernah mendampingi Gabungan
Himpunan Petani Pemakai Air (GHIPPA) yang mencakup wilayah Pohjejer selama
hamper 2 (dua) tahun.
Route dan medan yang lumayan berat kami
susuri, jalan berbelok, naik – turun bukit, menyusuri sungai yang berbatu kami
terjang, sehingga jarak tempuh sepanjang 40 kilometer itu dapat kami selesaikan
dalam waktu 5,5 jam. Waktu tempuh kami untuk menyelesaikan route lomba tergolong
cepat karena rata – rata dalam 1 (satu) jam kami menempuh kurang lebih 8
(delapan) kilometer.
Ada cerita nekat, tapi konyol dan lucu
setelah acara itu. Kira – kira pukul 14.00 acara sudah selesai dan kami akan
pulang ke Ponorogo karena besok pagi sudah masuk sekolah, Apri yang berperan
sebagai bendahara kami mengatakan bahwa dana sisa yang kami punya tinggal
sedikit, dan dia mengusulkan lebih baik jalan kaki menuju terminal bis
Mojokerto. Karena dana mepet kami setuju saja, tetapi kami tidak tahu berapa
jarak dari Pohjejer ke terminal bis. Meskipun capek dan kaki sudah kesemutan,
kami dengan tertaih tetap jalan kaki. Kami adalah manusia yang mempunyai tenaga
terbatas. Setelah berjalan kira – kira 3 (tiga) kilometer, kami semua menyerah
dan akhirnya naik angkot sampai terminal Mojokerto. Kami terperanjat ketika Pak
Sopir angkot itu mengatakan bahwa jarak Pohjejer – terminal bis adalah 25
kilometer. Spontan kami tertawa dan menyalahkan Apri yang punya ide… haha
Setelah sampai di terminal kami langsung
melaksanakan sholat ashar. Sewaktu melaksanakan sholat itulah kami benar –
benar merasakan kesemutan, pegal – pegal yang luar biasa pada bagian kaki kami
sehingga dalam gerakan sholat kami merasakan sakit. Ehmmmm… capeknya bukan
main. Seharian kami belum makan nasi, hanya terisi ketela pohon (manihot
utilisima) yang sempat kami makan sewaktu dalam perjalanan lomba. Apri yang
selalu mengecek kondisi keuangan memberitahukan bahwa kami bisa makan tetapi
yang harganya murah, seperti nasi bungkus. Kami melihat satu persatu menu yang
tertera di masing – masing stand warung dalam terminal, dan akhirnya kami
menemukan warung yang menjual NASI PECEL. Wooow tanpa pikir panjang kami
langsung masuk warung itu dan memesannya. Kami semua beranggapan bahwa nasi
pecel tentu harganya murah seperti di Ponorogo.
Suatu kebetulan dan barokah dari Allah,
ketika kami memesan nasi pecel (berlauk kerupuk) tiba – tiba Ibuk penjual nasi
pecel dan anaknya terkejut dan memanggil salah satu teman kami. “Mas Koko….
Teka ndi Mas?”. Koko adalah nama panggilan Sri Hantarko, senior kami yang
mendampingi kami. Spontan saja suasana menjadi berubah. Ibu penjual nasi itu
langsung menambah telur dadar di piring kami satu – satu. Kami semua senang dan
bersyukur kepada Allah yang telah member kami rizqi yang tak kami duga sama
sekali. Sambil makan kami berbincang – bincang dengan Ibu penjual nasi dan
keluarga yang kebetulan berada di warung. Ibu itu ternyata tetangga Mas Koko di
Ponorogo. Ehmm berkali – kali kami mengucap syukur. Sampai akhirnya kami harus
berpamitan dan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibu dan
keluarganya. Ketika berpamitan, Ibu itu member kami minuman botol (aqua) dan
beberapa lembar uang (sangu). Kami merasa tidak enak, tetapi mau bagaimana lagi
mereka memaksa… (mungkin tahu kalau kami kaum musafir yang dhuafa’ kwkwkw).
Kebahagiaan dan kesenangan kami semakin
bertambah, karena kenikmatan tidur dari terminal Mojokerto sampai terminal
Ponorogo juga kami dapatkan. Kami tersadar setelah kondektur bis membangunkan
kami karena bis sudah standby di terminal selama 30 menit. Nikmat dan barokah
yang luar biasa….. kenangan yang tak kan kami lupakan. Saya menyadari, hanya kesabaran,
doa dan keikhlasan yang bisa membuat itu semua…. Alhamdulillah, dan tak terasa
orang yang saya tunggu sejak tadi sudah duduk di sampingku tidak tahu kapan dia
datang karena terlalu asyik dengan bayangan kenangan 11 (sebelas) tahun lalu…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar