Jumat, 20 Januari 2012

Pak Tua di Lereng Gunung Kelud

Pagi buta, udara dingin, kabut tebal menyelimuti kaki Gunung Kelud. Jalan aspal berlubang campur tanah tampak basah dan licin karena tadi semalam hujan. Suara burung berkicau dan kokok ayam menambah suasana desa di kaki gunung berapi paling aktif di Jawa semakin terasa.
Suasana tersebut ternyata tidak membuat malas masyarakat sekitar desa Sumber Urip kecamatan Ngancar, Kediri. Dari kejauhan, remang - remang terlihat seseorang naik sepeda Jawa ("sepeda Unto") membonceng setumpuk kayu bakar. Tumpukan kayu itu sangat tinggi, melebihi tinggi badannya bahkan dua kali lipat tinggi tubuhnya... waduh awas nanti ambrux....

Setelah dekat, jelaslah raut muka orang itu. Seorang pengayuh sepeda Jawa Tua ( teyeng pisan )ternyata adalh seorang penjual kayu bakar dari salah satu anggota masyarakat di desa tersebut. Umurnya sudah tua (sekitar 65 tahun). Dari otot dan raut mukanya tidak nampak sebegitu tua, hanya sorot matanya terlihat nampak kelelahan. Ketika ditanya mau kemana kayu itu di jual, pak tua itu menjawab ke Pasar Wates (padahal jarak desa terebut ke pasar wates kira - kira 17 km). Setumpuk kayu itu berapa harganya, sekitar 20 ribu. Berapa kali dalam seminggu menjual kayu, 2 kali. Berapa keluarganya, pak tuapun menjawab dengan enteng Istri cuma satu anaknya hanya 6.

ehm... coba kita pikirkan dan renungkan cuplikan gambaran tersebut di atas? Orang tua yang seharusnya sudah istirahat menikmati masa tua, harus menghidupi keluarga. Ia hanya menghasilkan 160 ribu rupiah per bulan, tapi mampu menghidupi keluarganya.

kenapa kita tidak mau bersyukur??? ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar